Saturday, July 15, 2017

Kesenian mBoko Tujuh Lima Jadi Lima Dua Lima


Akhirnya hanya engkau teman yang dapat kuajak bicara; Tepatnya, tempat satu-satunya menumpahkan segala keluh-kesah. Ya, hanya kau. Tidak sudi pun aku melakukannya kepada yang lain. Aku memang eksibionis. Bang Edmon mengatakan aku eksentrik. Tidak penting itu semua. Aku sedang mengusahakan sesuatu. Semoga sesuatu itu berhasil. Sudah terlampau lama hanya kabar buruk yang kuterima. Inginkah aku mendengar kabar baik? Bahkan sekadar ingin saja aku tidak berani. Aku takut kecewa. Kecewa sepertinya kurang baik untuk orang setuaku.


Sekarang aku sedang berkeluh-kesah. Apa benar yang kukeluhkan? Jika kau sampai tidak tahu apa yang ingin kaukeluhkan, sedang kau merasa benar ingin mengeluh, itu tidak baik. Lagipula, apatah yang baik dari semua ini? Hebat. Hari ini aku terkuras dari segala ingin. Pagi ini aku memang masih berkeliling kompleks yang naik turun itu. Aku bahkan menyarap Mie Ayam Donoloyo beserta risolesnya sekali. Kau pernah mendengarnya bukan? Begitulah hidupku. Tidak, aku tidak akan mengatakannya ganjil seperti Teguh.

Hidupku sekadar penuh pengulangan. Namun aku sangat membutuhkan dorongan besar. Butuh atau ingin? Harus. Lihatlah sekeliling. Semua dengan masalah dan derita masing-masing. Jika sekadar menahan sakit, Jack Kennedy dan Mbak Eka pun menahan sakit. Namun ada satu ini yang sungguh sulit ditahan. Ah, entahlah. Ini pun sekadar kesenian tujuh lima persis harga mie instan jaman dahulu ketika aku sedang doyan-doyannya. Hei, bahkan mengenang masa lalu—kegemaranku satu-satunya—pun gagal menyemangatiku di pagi yang murung ini.

Pagi ini pula aku mencuci, sebentar lagi akan kujemur. Aku pun harus mandi. Akankah aku ke Radio Dalam? Entahlah. Aku tidak peduli. Ya, bahkan rasa senang, rasa ringan di hati itu pun rejeki yang mungkin paling sering diremehkan dan diabaikan. Kini aku sangat membutuhkannya. Hati yang senang, hati yang ringan. Pikiran yang terang, bukan yang diselimuti kabut kekentuan. Ya, aku memang sengaja pagi ini, karena ini sama saja dengan media sosial. Ini bukan tempat berdoa.

Setelah selesai dipindah, aku mulai mendengarkan musik-musikku. Musik yang itu-itu saja. Sekarang Tante Dionne Lewat Begitu Saja. Sebenarnya tidak sesuai dengan suasana hatiku, meski melodi dan ritme 1970-an ini memang selalu terasa lesap mulus ke dalam hatiku. Ya, begitu saja. Hari ini Insya Allah aku ke Radio Dalam. Mengenang masa-masa yang telah lalu atau menatap masa depan. Aku yakin pada Allah Tuhanku. Allah satu-satunya andalanku. Tentu saja, mau mengandalkan siapa lagi? Aku toh sendirian kini.

Itu bukan doa ‘kan? Tidak apa-apa kusebut di sini ‘kan? Aku relijius? Ya, aku berusaha begitu. Kelakuanku masih tidak karuan? Aku berusaha untuk tidak begitu, meski sulit. Nah, ini agak sesuai dengan keadaanku sekarang, meski aku benar-benar tidak peduli. Maafkan aku, Cantik, tapi sepertinya tidak akan terjadi dalam kehidupanku aku suka jalan-jalan. Itu ide paling gila yang bisa kupikirkan, untuk tidak mengatakan paling tidak berguna. Passion, kata Riza? Apa passion-ku? Ada ‘lah. Tidak perlu kusebutkan.

Lantas buat apa semalam kuumumkan nilainya Hexa? Aku lelah semalam lahir batin. Dalam kondisi seperti itu, seringkali sulit untukku mengendalikan diri. Akhirnya aku melakukan hal-hal yang mungkin akan kusesali di pagi harinya. Buat apa aku berurusan dengan bocah-bocah ini setiap hari? Adakah ini karena kekagumanku pada Paman Karol, maka aku menjadi sepertinya? Cuih, Paman Karol palsu! Gadungan! Menjijikkan! Ini paling enak. Meludahi dan memaki-maki diri sendiri, seperti yang pernah kulakukan di suatu hari yang celaka.

No comments: