Saturday, July 01, 2017

Lebaran Ketupatnya Kecepetan Sehari, 'deh


Ini entri istimewa, karena judul dan ilustrasinya sudah disiapkan terlebih dulu. Meski tetap saja tidak ada jaminan bahwa isinya akan merupakan penjabaran dari judulnya. Tadi sempat muncul tanya, lantas apa guna jurnal ini. Jawabannya tersedia segera: Eksibisionisme! Aliran seni lukis yang kuciptakan sendiri, yakni melukis dengan kata-kata. Jelas jauh lebih efisien daripada melukis sungguhan, karena alatnya tidak lain adalah alat produksiku sendiri: komputer pribadi, dan otak dan pikiranku yang bekerja melompat-lompat. [katak si katak lompat, lompat ke dalam paya]


Demikianlah maka hari ini aku terbangun pukul 05.35! Kali pertama dalam 35 hari terakhir ini aku tidak bangun sebelum pukul 04.00. Berhubung aku harus minum Canderin, berarti hari ini setelah 35 hari akhirnya aku berhenti puasa. Sebuah pisang ambon yang sudah matang sekali ternyata sungguh manis disantap pagi hari, terlebih ditemani setidaknya seliter air putih. Sepotong pepaya setengah mengkal segera saja menyusul. Entah bagaimana, ia terasa lebih manis dari sebelumnya. Apakah ia terus matang meski sudah dipotong, atau berfermentasi?

Mungkinkah tidak terbangun sahurnya aku ini ada kaitannya dengan kwetiauw yamin Bangka komplit yang kusantap malam sebelumnya pada sekitar 21.00? Entahlah, yang jelas aku kurang bayar pada Ah Lie. Semalam aku membayar kwetiauw pangsit sedang yang kumakan adalah kwetiauw komplit. Maka ketika Cantik minta ketoprak, kubelikan saja ia Ketropak Portugal sekalian mampir bayar kekurangan ke Ah Lie. Cantik seperti biasa tanpa kecap cabai delapan. Aku pun memesan sebungkus tanpa cabai agar tidak terlalu merasa bersalah pada tukang ketopraknya.

Dengan ketoprak, ini toh lebaran ketupat, meski syawalanku masih kurang sehari. Meski lebaran ketupat, aku tidak sanggup menghabiskan ketupat di ketoprakku. Memang sudah lama aku tidak sanggup melakukannya, terlepas dari kenyataan aku memakan sekantung cukup besar kerupuk bekas ketoprak yang kami makan ketika bersilaturahmi ke ndalemnya Bude Ning beberapa hari lalu. Selesai lebaran ketupat, aku merayakan dengan mengganyang Berlin yang dikangkangi Ashurbanipal, dengan pasukan sumbangan dari negara-negara kota yang bersimpati padaku.

Siap itu, shalat dhuhur, aku merasa siap untuk memulai menulis proposal rangkaian kegiatan Masyarakat Pancasila dengan ditemani Kisah Cinta-nya Francis Goya. [Cantik setelah menemaniku lebaran ketoprak bobo lagi. Jam biologisnya memang sedang kacau, sepertinya sudah sejak hari-hari terakhir Ramadhan.] Lumayan lah sudah dimulai, tinggal diteruskan. Namun pastinya harus ditunda karena sebelum 3 Juli aku harus menyelesaikan kelembagaan komunitas dan pasar, konservasi pada tataran genetik, juga perencanaan lingkungan dan pesisir. Sorenya bahkan aku masih sempat jalan-jalan pensiunan sedikit.

Meski awalnya gara-gara sate kerang, aku menemukan diriku dan Cantik malam ini kencan di D'Cost Mal Depok. Hidangannya Buncis Singapura, Tahu Jepang, Omelet Makanan Laut dan Gurami Goreng. Akhirnya aku tahu salah satu fuyunghai terbaik adalah D'Cost punya, meski seingatku teksturnya [ya, tekstur. Bagiku ini terpenting untuk fuyunghai] sebelas duabelas lah dengan Kuri-Kuri punya, tapi Kuri-Kuri 'kan jauh. Buncisnya sebenarnya oye, tapi aku kuatir dengan bumbu pedasnya. [terkonfirmasi dengan kemampuannya membangunkanku sahur. Terima kasih, Buncis]

Selesai makan kami ke Toko Buku Toga Mas. Sebenarnya ada setidaknya empat buku yang ingin kubeli: Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas-nya Achmad Chodjim, dan Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu-nya Sapardi Djoko Damono. Namun itu bisa hampir dua ratus ribu sendiri. Maka kubeli Bahaya Kapitalisme-nya Ignatius Gatut Saksono yang kucurigai entah-entah isinya. [dan ternyata memang entah-entah] Cantik sementara itu beli buku latihan soal untuk Khaira dan Gray Mountain-nya John Grisham, ditambah lagi majalah National Geographic edisi terbaru boleh beli di Food Hall.

No comments: