Thursday, August 24, 2023

Rumah Istriku dan Sungai. Mungkinkah Ini Aku


Mengapa ketika mulai mengetik malah bertanya mungkinkah ini aku, membelai lembut jiwa nurani seperti selalu saja. Seandainya kulakukan di Lenovo, kuhilangkan latar putihnya, pasti jauh lebih menyelerakan kecoa sungai ini. Namun ini tidak ada hubungannya dengan judul di atas. Hanya saja memang istriku sudah terlelap, sedangkan aku, meski hanya sekejap terlelap sebelum maghrib tadi, belum bisa tidur juga. Entah sudah berapa malam kuhabiskan memandangi jalan menanjak sedikit dari sisi timurnya, sedang titik-titik hujan terus menjatuhi kepalaku meski kemarau begini.
Aku bersamamu jika aku sedang merasa kesepian, dan semakin ke sini semakin sering aku merasa begitu. Terlebih jika di kantin, terlebih masih libur begini. Kurasa, meski minggu depan sudah mulai kuliah pun, aku masih akan tetap merasa kesepian di kantin itu. Tepatnya, kampus seperti tidak menerimaku lagi, seperti memang tidak pernah selama aku berada di sana. Aku memang tidak pernah menerima siapa-siapa, lantas bagaimana bisa berharap diterima siapapun. Jari tertebas putus pasti lama sakitnya. Disabeti dengan selang plastik juga, seperti pantat dipukuli gagang sapu.

Pantas saja, lagu cinta ketimuran membuatku memejamkan mata merasakan perutku yang bengkak. Betapa senangnya ketika berkelana menjelajahi padang rumput berbunga-bunga yang seakan tak habis-habisnya. Bertualang dengan tutup kepala rusa jantan lengkap dengan tanduk-tanduknya masih utuh, bertelekan tongkat bertuah yang sanggup melakukan berbagai-bagai sihir baik jika saja ingat caranya. Untunglah kami semua dibekali kitab mantra yang kami bawa ke mana-mana, terkadang juga untuk mencatat mantra-mantra baru jika sudah mampu.

Aku tidak bisa memberimu apapun kecuali cintaku sempat sekelebat mengilhamkan cinta, meski langsung menguap demi mengingat muka berkeringat. Maka kulanjutkan pengembaraanku bersama centaurus, kurcaci, kuda sembrani, pohon berjalan, kuda bercula satu, dan tentu saja naga hijau. Naga hijau cukup satu regu saja, kuda bercula satu agak sepeleton, sisanya entah berapa batalyon berapa resimen. Susah sebenarnya mengembara diikuti sebegitu banyak mahluk-mahluk mitologi, namun mau bagaimana lagi. Tak pelak lagi, aku butuh mereka.

Terkadang kolonel-kolonelku kusuruh menyingkir jika, seperti sekarang ini, di bawah guyuran hujan dan dentuman guruh petir, aku ingin berdua-duaan saja dengan Michele. Masalahku sama dengan Denny Luqman al-Hamzah: tidak pernah ada mukanya. Mau Michele mau Jaminten sama saja. Mungkin Michele kecil mungil, Jaminten montok sintal, tapi selebihnya kami tidak tahu, apalagi mukanya seperti apa. Paduan suara ini membarengi ensembel violin dan viola, semakin melembutkannya. Kugedikkan tongkat saktiku membuat langit bumi berderak menggeletar. 

Peri-peri penunggang kuda sembrani berpedang petir, kurcaci-kurcaci berpalu gada dan godam, centaurus-centaurus bertombak, pohon-pohon berjalan terhuyung-huyung. Kapten-kapten mereka menghardikkan perintah dan aba-aba. Kolonel-kolonelku sibuk meneropong-neropong dan memberi sinyal-sinyal dengan bendera-bendera. Penyompret dan penambur membunyikan alat-alat masing-masing, bersahut-sahutan riuh-rendah. Kukirimkan jutaan lebah, membuat balatentara setan kuburan dan mayat hidup bergubal berhembalangan. Mereka lari sebelum kelahi.

Kulihat seorang jenderal mayat hidup dari antara mereka memutar-mutar pedangnya memapas batang-batang leher pasukannya sendiri yang masih berkepala sambil berseru-seru parau, "kepala-kepalamu tak berguna!" padahal ia sendiri masih berkepala. Ia tidak peduli jutaan lebah merubunginya. Kurasa lebah-lebah pun enggan menyengat kulitnya yang sudah lebam melepuh, membusuk berwarna abu-abu kehijauan. Kuperintahkan semua berhenti mengejar. Kukirimkan naga-naga hijau untuk membakar kebusukan yang merajalela. "Bakar semuanya jadi abu!"

No comments: