Thursday, August 10, 2023

Jangan Menulis Kata yang Tiada Arti. Kalimat Boleh


Tiada kusesali barang seupil pun. Aku memang tidak pernah mempedulikan apapun kecuali cara-cara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, meski sampai detik ini aku tidak tahu bagaimana caranya. Jika caranya adalah menyanyi dan menari, bermain peran dalam film, mengiklankan pencuci rambut bahkan ketika bangsa ini tengah dilanda perubahan besar, maka tiada urusanku dengan yang begitu itu. Kurasa yang kutunggu tiada lain adalah cinta sejati, sejatinya cinta. Selama belum kutemui, aku rela hidup seadanya, kepal jari jadi tinju: UI!
Kemudaan yang didera demam berdarah dilanjut tifus telah digantikan susu beruang dingin bersimbah sirup kelapa pandan cantik warna kesumba merah pupus. Sedingin es melalui kerongkongan didera panas membakarnya anak lelaki kecil osilasi selatan bergandengan tangan dengan samudera Indonesia dwikutub, hanya kudoakan tidak menyakiti badan tambun nan ringkihku. Ayam bakar kremes masih ditabur stik penyedap rasa dan mungkin sepercik keju olahan parut tiada membangkitkan selera. Seperti kemarin, ingin pulang ke pelukan Suhu Yo.

Buat apa gadis sampul baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris jika di rumah sudah setiap hari menyanding remaja ceria yang menggemaskan selalu membuat geregetan. Keterpanggangan ini tak ayal membuat kepala tengadah, senyum pasrah, membumbung puji-pujian pada Sang Maha Perkasa. Jika bendung katulampa saja sudah kering-kerontang di bawah nol, bebatuan di dasar Ciliwung sudah tampak seperti rusuk-rusuk menonjol pada dada sapi kurus. Menari, menyanyi, bermain film terasa sungguh tidak relevan, lebih lagi demokrasi berkeadilan sosial.

Sapi-sapi kurus menari dan menyanyi di pelupuk mataku, bukan sapi-sapi tambun melenguh malas. Betapa orang suka membanding-bandingkan sapi-sapi, pernahkah kau dikencingi, diberaki. Entah bagaimana aku kembali ke 10 Oktober 2002 ketika terkapar di Pusat Kesehatan Mahasiswa, sebagaimana 10 Oktober 1995 terkapar di Ruang Karantina Penyakit Menular. Aku masih ingat berjalan agak gagah keluar darinya. Aku tak ingat apakah langsung naik taksi pulang ke Radio Dalam atau bagaimana, uangnya dari mana. Tiada yang peduli mau kumati sekalipun.

Jika kau tidak tahu aku sekarang juga, kau tidak akan megetahuinya, uuh. Apa itu main kuda-kudaan gadis sapi atau terbalik, sapi lagi. Menggantung berat begitu, nakal begitu, hangat begitu. Di sini aku bingung mau kubuang ke mana pandangku, terlebih jiwa lelahku, apatah lagi badan tambunku. Lima belas tahunan lalu pepes jamur, pepes tahu, dan sayur asam tidak akan pernah gagal membangun suasana hati, bahkan setelah-setelahnya. Sebelum Asmirandah bekerja sebagai pelayan menuliskan nomor teleponnya dengan saus sambal pada roti baget panjang. Itulah.

Tiada yang mempersiapkanku untuk kemarau panjang ini, tak juga kenangan-kenangan mengenai kemarau panjang dalam hidupku; kecuali suatu kemarau yang membakar tarmac pada apron timur dan barat bandar udara Kemayoran, dari mana nama blog ini berasal. Itupun aku nyaman terlindung dalam rumah mungil berubin kelabu sejuk nyaman. Bapak Ibuku muda perkasa, tiada yang kutakuti meski halelepah makan daging mentah sekalipun. Suatu hari nanti, di suatu waktu, aku muda perkasa memeluk Bapak Ibuku sayang yang juga muda perkasa. Amin.

Kini masalah pepes jamur, pepes tahu, dan mungkin sayur asem atau ujung-ujungnya nasi merah lauk entah-entah. Aku harus bekerja karena sudah kuterima uangnya. Malunya tak tertahankan, di pojokan penuh buku bau apak ini setelah tarian mengumandang, seperti lebih dari dua puluh tahun lalu di lembaga kajian hukum dan teknologi yang bahkan sampai hari ini masih kucemooh; apalagi wirausahawan inovatif hukum. Aha, entri ini sudah semakin mirip entri-entri semasa mudaku, menyebut-nyebut nama, hal-ihwal, untuk dicemooh. Tak ada yang keren kecuali aku.

No comments: