Tuesday, August 01, 2023

Hasil Penyerbukan Bastar: Haram Jadah. Baru Tahu


Haruskah entri ini diberi judul, seperti tujuh tahunan lalu, lelaki, ketahanan nasional, grand sahid hotel, kurasa tidak. Maka seperti itulah judulnya, suatu kenangan dari umur sepuluh tahunan ketika mencoba menekuni manusia dan alam sekitar: penyerbukan bastar. Setelah hampir tiga puluh tujuh tahun baru kusadari kalau hasil penyerbukan seperti itu adalah haram jadah. Sebuah toko buku kecil di gang kecil ke arah Kemayoran Theatre, beberapa eksemplar buku teratur rapi pada rak-raknya yang sederhana, himpunan pengetahuan umum dan sebagainya.
Tahukah bahwa aku lelah merintang masa, menjajah waktu. Tahukah kau bahwa aku sedang agak bergairah mengkhayalkan... masa depan hahaha. Cukuplah diingat seperti apapun bentukmu, asalmu air mani yang hina, dipancarkan dari lubang yang juga mengeluarkan air kencing. Uah, sangat mencerahkan, sungguh menyamankan. Maka dengan ini aku bisa berlenggang-kangkung, meski mungkin akan kena damprat Haji Mandra, kena cibir Ayah Ojak; toh aku memang bukan orang Betawi. Menatap keluar, ke kebun Istriku yang penuh dengan daun jurasik, kata Mbak Erni. 

Adakah dulu aku berani membiarkan tirai pavilyun terbuka bila malam telah turun atau bahkan larut mendekati tengah-tengahnya. Apa yang akan kulihat ketika itu, masih adakah pohon nangka. Aku betul-betul lupa, ketika adikku masih semester satu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, aku pecatan kopral taruna. Mana kutahu jika ternyata aku dan adik bungsu kami pun Universitas Indonesia. Hanya adik nomor tiga Institut Pertanian Bogor. Jika disebut-sebut begitu memang terasa agak gagah, meski aku tahu tidak begitu adanya. Biarlah itu yang dikenang Ibu.

Adakah malam-malam kuhabiskan di Mal Pondok Indah sebelum ada nomor-nomornya. Apa benar yang kulakukan selain memunguti puntung-puntung panjang rokok dari asbak publik di depan bioskop atau mencuri sekalian sebungkus dari supermarket hero. Bilakah aku berangkat ke sana, apakah ketika hari masih terang atau sesudah gelap. Berarti aku tidak pernah shalat ketika itu. Aku ingat berpuasa di Akademi Angkatan Laut, namun tidak pernah ingat shalat, demikian pula waktu aku masih tergabung dengan Resimen Chandradimuka. Terompet lirih diselompret.

Apa yang kupikirkan ketika melihat gadis-gadis sampul berkongkow ria di bakmi gajah mada, apakah dengan pasangan-pasangannya. Mengapa waktu itu aku tidak berdisiplin memelihara kebugaran fisik, bahkan melatihnya lebih keras, sehingga cocok membawa-bawa belati korps pasukan intelijen tempur dan sepucuk revolver. Namun aku tidak suka yang pura-pura. Sejak tumbuh kesadaranku, aku tidak berhenti mencari kesejatian sehingga kini. Jika itu dulu kulakukan, mungkin aku sudah jadi pembunuh sejati; tentu tidak seperti robot gedek, lebih seperti baret hijau.

Aha, melodi-melodi lembut ini memang benar-benar lembut dan sangat Belanda. Dapat kurasakan dingin sejuknya udara musim semi, musim gugur, bahkan musim dingin sekali menerpa wajahku ketika pintu trem atau metro terbuka. Perempuan-perempuan kaukasian berambut pirang naik-turun darinya, kenapa hanya perempuan yang kausebut. Kencingku masih lurus, sahutku asal. Entah apa yang membuatnya sangat Belanda, adakah harmonikanya. Pulang ke Amsterdam tenggara dari Amstelveen di sebelah selatan, pada 2018 masih sekali saja naik Metro 51 'nuju Centraal.

Tidak pernah terbayang olehku di sebalik tembok pemakaman kamboja itu aku akan sampai ke Belanda. Segelap suasana di situ, segelap pikiran dan perbuatanku, segelap itulah masa depanku ketika itu. Bahkan tak pernah terbayang aku bisa berkuliah di Universitas Indonesia yang kusia-siakan begitu saja. Entah 'nyangkut di nisan siapa celana yang kubuang ke sebalik tembok, atau di dahan kamboja, sampai malu hati. Entah apa yang terjadi pada anak Mas Manto, yang ibunya membawa sepotong tongkat logam pendek berkrom berbintil. Entah akankah, ya, bila dosa-dosa terampuni. 

No comments: