Saturday, August 26, 2023

Mata yang Terang, Menyala Bagai Api. Mata-matamu


Aku tidak pernah menggarap sawah, dan mungkin dalam hidupku yang ini aku takkan pernah tahu rasanya menggarap sawah. Sawahku dilanda kemarau ketika hampir panen, sampai puso, sebagaimana halnya sawah-sawah menghilang dari Depok di Sleman maupun Bogor. Lihat kelakuan orang ini. Sungguh tidak senonoh! Memegang-megang, mengelus-elus padi bunting, yakni, padi yang beralih dari fase vegetatif ke generatif. Padi yang dibuahi. Aku membuahi dengan sekotak plastik buah-buahan potong. Jus jeruk yang rasanya seperti air jeruk. Dingin tidak. Manis tidak.
Meski 'ku takkan pernah tahu rasanya menggarap sawah, aku suka roda bunga ini. Dibilang hotel, bukan. Dibilang bukan, hotel. Namun jika ini harus diretroaksi jadi salah rasanya. Seharusnya aku bercerita mengenai pengalaman menunggang kuda bercula satu selama sembilan jam. Akan tetapi, aku bertekad tidak akan mengomentarinya sampai 'ku bertemu lagi dengan kasur biru dekil berjamurku. Ya, sudahlah. Lebih baik aku berlarut-larut dalam kesedihanku demi melihat padi-padi bunting besar, 'gera 'kan meletus mengeluarkan air ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusat.

Namun demikian, padinya sendiri puso, hampa. Tidak ada padinya. Artinya, takkan ada yang 'kan meruwat Kilatmeja, Ramadipati, Ramadaya, dan Pulasio, karena Anomannya ternyata tidak ada. Oh, Jagad Dewa Batara, lakon apa yang Engkau mainkan bagiku ini. Selamanya keempat saudara itu akan menjadi prajineman di Alengka angkara murka tanpa pernah menyatu dengan pusatnya yang puso. yang hampa, dan itu aku. Kurang tidurku, berat rasa kepalaku, hampa rasa dadaku, meski indahnya pita merah senandung buluh perindu dari balik atas angin sana 'ku berada.

Tidak perlu ditulis di sini, kenangan naik kapal cepat di lautan yang marah, mengamuk gelombangnya, selama sembilan jam tentu tidak akan mudah terlupa. Selebihnya, aku akan kembali meratapi padiku, anomanku yang puso, karena tiada sawah yang sudi kugarap. Hanya pantai-pantai mengantuk inilah yang tersisa untuk kutekuri, kutelusuri lekuk-likunya bagai perempuan di puncak masa suburnya memasrahkan tubuh ranumnya untuk kugumuli. Namun kini aku tidak lagi muda. Terlalu banyak pahitnya hidup kugelegak kukremus dengan dera amarah di dada.

Aku bukan lagi kuda jantan menandak pada kedua kaki belakang. Aku kerbau tua bertanduk patah, badanku tambun namun kulitku gombyor berkeriput seperti badak berhidung belang. Aku berlalu meninggalkan pantai-pantai itu, kembali ke kandangku tempat aku memuntahkan rumput yang kujejal-jejalkan pada perutku, mengunyah-ngunyahnya lagi sambil bersantai merenungi siang yang berganti malam. Ular melata di sebalik punggungku aku tak peduli. Apatah lagi ular berbisa, kijang kencana pun takkan sanggup menggerakkan pantatku yang sebesar dunia.

Sungguh tiada bedanya bagiku, ladang tegalan kering, sawah tadah hujan, ladang tebasan hutan, sawah pasang surut, tak satupun pernah kutahu rasanya mengolah menggarapnya. Hanya kupandangi botol plastik bekas diberi berair untuk menumbuhkan entah tanaman apa, entah oleh seorang ibu muda, ibu tua, atau perawan tingting sekalipun. Sesia-sia itulah hidupku, sebotol tanaman menantang angkuhnya belantara beton kota-kota besar yang mengaku ibukota, padahal jahatnya melebihi ibu tiri. Aku tidak pernah tahu ibu suri jahat atau tidak, seperti di keraton-keraton itu.

Maka kuucap sayonara, selamat tinggal, sampai berjumpa pula di kehidupan selanjutnya. Entah kugunakan palu perang untuk menetak ubun-ubunnya yang celaka, seperti ancamanNya pada mereka yang mengganggu kekasihNya: dibetot ubun-ubunnya. Apakah ini maksudnya stroke? Aku berlindung kepadaNya dari yang seperti itu. Seperti halnya kini, kuucapkan selamat tinggal pada kemarau. Bukan aku tak suka padamu. Terima kasih telah hadir kembali dalam kehidupanku. Terima kasih telah membiarkanku tetap sehat, tetap semangat jalani hari-harimu.

No comments: