Wednesday, August 09, 2023

Bersendal-gurau dengan Bapaknya Yeyen Siang Ini


Bapaknya Yeyen memang tidak berkata sepatah pun. Dengan gigi-gigi depannya yang sama hilang, mungkin ia jadi enggan berkata-kata. Namun, dengan perbuatan ia berkata padaku: "apapun yang sanggup kaulakukan. Lakukan." Jangan kebanyakan pikiran Donbangi Dontiba tidak mau ikut dan sebagainya, tulis saja mengenai "Dari komunitas hukum ke komunitas khayal. Asal-muasal kenegara-bangsaan Indonesia" yang kaurencanakan itu. Jangan kaupikir akan ada gunanya atau tidak, terlebih menghasilkan uang atau tidak. Itu bukan urusanmu. Kerjakan saja itu kesanggupanmu.
Sementara itu, di hadapanku terpampang meja-meja dan kursi-kursi kosong seperti yang beberapa kali kulihat di lantai dua martabak kubang, sedang tiga lantai ke bawah parkiran mobil juga kosong. Apa betul Yogya dapat memecah kemacetan di sebelah barat pertigaan Kemakmuran seraya membaginya dengan sebelah timur sini. Adakah Yogya melakukannya seperti Bapaknya Yeyen yang asal Salatiga, sekadar melakukan saja tanpa banyak pertimbangan. Mengapa pula leherku mulai pegal-pegal. Di hadapanku Jalan Gama Raya bergalau debu di siang terik.

Memang betul kukerjakan saja, namun bukan calon risalah itu, melainkan entah-entah. Cantiknya iringan orkestra ini tidak pernah berubah setitik pun dari empat puluh tahunan lalu. Aku menyelonjorkan kaki ke kursi di seberang. Ah, sungguh nyaman tempat kerjaku ini, yang jelas bukan ladang bekas gambut. Ketika anak-anak perempuan harus mencari sayur-mayur liar dari tepi-tepi ladang bahkan hutan untuk dijual di pasar, sekadar untuk menambah uang entah untuk apa, ketika itulah Bapaknya Yeyen enggan membeli sepatu baru. Aku yang membeli celana kerja baru.

Banyak yang sudah hilang: Mawar, tugas Bali, dewi Indonesia, panas berbakat; meski ada juga beberapa yang bertemu lagi. Kau ucapkan selamat tinggal setelah kuduplikasi kaset pasokan udara milik Ciplik, membuatku ingin menurunkan kakiku karena pinggang belakangku sakit. Beberapa utas kentang goreng dan dua geluntung kroket kentang isi entah apa seharga sekitar sepuluh yuan menemani sekadar agar boleh berlama-lama di stasiun kerja ini. Jika rasa badan tiada berapa segar, ingatlah mie rebus buatan Pak Sachid...  lebih tepatnya kubis rebus banyak ada mienya.

Ternyata berlindung dalam ruangan berpendingin udara tidak membuatku terbebas dari serangan kantuk, sedang mengunyah kentang hanya akan membuat baju dan celanaku tambah sesak lagi sempit. Di bawah sana musik lokal membahana, mungkin untuk mengiklankan pengeras suara. Ayam saja makan gorengan-gorengan ini bisa jadi rikishi alias pegulat sumo apalagi aku. Tempat ini sepi tetapi tidak berarti tidak ada yang berdatangan meski satu-satu. Seringnya keluarga dengan beberapa anak, atau seorang ibu saja dengan anak-anaknya, satu atau beberapa. Aku saja.

Astaga, ia benar-benar melolong di bawah sana. Untung saja aku bisa menunggu selamanya jika kau kata akan di situ juga. Begitu banyak karya-karya klasik yang belum kusentuh. Apakah masih betah aku membaca buku di kertas buram. Akankah kacamata bacaku membantu membuatnya lebih nyaman. Bagaimana dengan penerangan lampu betawi yang kuning hangat remang-remang itu. Aku tak bisa percaya mataku, ketika badanku kuluruskan agar perut tambunku tidak terlipat menyesakkan dada. Sedang kentang goreng masih banyak, belum lagi kroket. Kutumpahkan sini saja.

Lebih bagus terasa terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, seperti orang Indonesia bagus. Belum pernah aku segelisah ini akan masa depan, maka begitu saja kuputuskan untuk kembali ke Havana, ke sejuk-pengapnya warung internet berbau puntung rokok. Aku pun merokok di situ seringnya, jarum super. Mereka ini tidak pernah tahu kengerian dunia, dan aku berdoa semoga mereka tidak pernah harus mengetahuinya. Doa yang sama pula bagi seluruh anak perempuan di dunia ini, agar menjadi tiket masuk surga bagi bapak-bapak mereka; Seperti Yeyen bagi bapaknya.

No comments: