Tuesday, August 15, 2023

Badai Petirku Berbadai Saljumu. Kisahmu Cintaku


Sungguh aku merasa di usiaku sekarang ini sudah tidak pada waktunya untuk cerdas barus. Waktu-waktu yang lebih muda telah kupaksa untuk mencerdaskan kehidupan sendiri, karena memang sudah menjadi kebutuhan bagiku entah sejak kapan. Genteng di sepanjang gama satu deretan citra kasih, kedua rumah kosong yang mengapit nomor dua enam, sebelah kanan bagus, sebelah kiri hancur, adalah salah satu tempatku memacu rasio sekencang-kencangnya. Segala sesuatu harus masuk akal dan keluar perasaan. Tiada tempat bagi cinta monyet, kadal, undur-undur.
Bagaimana dengan matahari terbenam, bagaimana dengan keesokan hari setelah karnaval yang kautiupkan sesyahdu dan sesendu mungkin sampai mengharu-biru perasaan remajamu. Itulah satu-satunya romansa bagiku, yang memang penuh cinta. Kutiupkan lamat-lamat dengan hadiah sunatku, yang bahkan sampai kubawa ke Magelang untuk berbicara cinta dengan lembut di hadapan anak-anak gundul lulusan terbaik sekolah menengah pertama se-Indonesia. Jika sekarang merekah perutku, mendendam hatiku, tak lain terusan itu semua, gama satu dan seterusnya.

Sedikit atau banyak kelezatan sudah pernah terasa, penyesalan pula yang tersisa, ketakutan akan tak terampuninya dosa. Apakah itu di Gang Sawo bilangan Margonda atau di sebelah manapun seputar UI, malam-malam hangat bisa saja dihabiskan di warung kopi, mereguk kopi susu atau entah apa, menghisap rokok kretek kesayangan entah dari mana uangnya. Apakah ketika itu Dwight Yorke menyundul dari balik ketiak Paolo Montero, membuat Angelo Peruzzi kagok mengantisipasi arah bola. Itulah waktu-waktunya, telah kulalui semua kelapangan itu; cukup sudah bagiku.

Markas di tepi Ciliwung itu, di mana Kiboud minta klarifikasi apakah yang tergantung di dinding itu gambar Lilis Suganda, mungkin tempat terakhir ditemukannya daftar pelan teratas. Begitu juga meja tulis Bapak yang pernah pula berada di atas tebing Ciliwung agak lebih ke hilir. Kini aku lebih ke hulu tetapi masih di Ciliwung juga, yang perkasa, yang meski mengering namun akan bergolak lagi. Tidakkah hidup begitu saja, menahankan panas, menahankan terpaan titik hujan pada wajah, nyaman, meriang dingin, meriang panas, nyaman lagi. Begitu saja seterusnya, 'kan?

Satu setengah kebab meledak dalam perutku belum beberapa keping slondok udang katanya, sedang malam sudah tepat berada di tengah-tengahnya. Ada waktu-waktunya meski aku tidak ingat benar kapan, ketika tengah malam seperti ini aku pun berada pada puncak lelap tidur. Berarti aku memulainya ketika malam masih sangat muda. Ada waktu-waktu seperti itu, ada pula waktu-waktu seperti ini. Kau takkan pernah tahu mana bagianmu, bila datangnya. Apapun lebih baik daripada malam-malam resah penuh kebingungan tanpa kantuk menyapa, bertahun-tahun.

Namun kini mungkin mulai terasa olehku betapa waktu tersisa harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Apakah ini janji akan kehidupan yang baru atau setidaknya episode baru dalam kehidupan yang tentu hanya satu. Apapun itu, badai petir menderu membahana di telingaku, seperti badai salju berhari-hari menerpa jendela lapis dua berderak-derak. Dapatkah dalam keadaan seperti itu aku keluar membeli kapsalon, atau malah memesan aneka rasa ramen dan udon, masakan tahu telur mahal dan nasi dan mie gorengnya yang pucat. Meski takkan kualami, tak pula kudamba.

Berjalan bisa di mana saja, di dinginnya malam stasiun pusat Amsterdam atau selatan, menembus dinginnya malam berganti trem, atau truk pengangkut pasukan, atau sesederhana kereta rel listrik membawamu pulang. Asalkan jangan taksi membawamu kesakitan meski berangsur-angsur reda. Anggur merah, anggur obat, anggur putih atau apapun yang pernah kutenggak membuatku tengadah memandangi langit malam. Aku tidak menggugat atau mengeluh. Aku hanya mengadukan perihalku sebaiknya pada diriku sendiri:  hidangan warung nasi yang kunikmati pun.

No comments: