Monday, October 02, 2023

Mengapa Bentuk Bejana Seperti Pelir Berbuah Dua


Aku tidak suka gambarnya, terlepas dari bejana yang isinya dituangkan ke dalam mangkuk itu. Ini juga tidak perlu menjadi entri yang terikat waktu. Ini justru harus menjadi entri yang universal, menjangkau jauh ke dalam ngarai prasejarah dan buramnya masa depan. Jika aku duduk dengan perut terasa mendesak tak nyaman, itu bisa terjadi kapan saja selama 20 tahunan ini. Begitu pula berita kematian bapak mertua Mas Gitosh karena penyakit lambung bisa datang dan dicatat kapan saja. Tidak masalah. Ruang kerja bersama ini yang dapat terlalu spesifik untuk dideskripsikan.
Dengan perut terasa penuh mengganjal begini, dengan punggung terasa hangat terpanggang matahari sore meski berada dalam ruang berpendingin udara, tidak bisa lain terpaksa menyumpal telinga dengan derap-berdentamnya tambur bass berganda milik Lars Ulrich. Entah mengapa kantuk melanda alam desaku, padahal banyak yang harus kukerjakan, termasuk dan terutama perencanaan acara Pusat Kajian Hukum dan Pancasila untuk Dies Natalis ke-99 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang ternyata belum beranjak banyak. Kantuk terus menderaku menyambar-nyambar bagai gegap-gempitanya petir halilintar.

Memperbanyak apapun yang mengakibatkan mabuk sampai hilang akal hilang kesadaran, memperbanyak makan daging seperti binatang buas, memperbanyak lauk-pauk ketika makan, memperbanyak bahkan sekadar makanan pokok, memperbanyak mengumbar nafsu syahwat justru akan menjauhkan dari keilahian. Sebaliknya, mengurangi sesanggupnya justru akan mendekatkan. Daripada kusut memikirkan bagaimana mengumbar semua itu bisa menjadi digdaya mandraguna, lebih baik menghayati beranda di lantai atas dengan pemandangan mushala kecil mungil cantik.

Seteguk dua cappuccino encer kuharap tiada menyiksaku lebih jauh setelah perutku masih menggelembung mengganjal begini. Idealnya, sebelum hari ini berakhir aku sudah berjaya menghasilkan suatu racauan mengenai hayati dan amalkan Pancasila, kembalikan kedaulatan kepada rakyat, kaji-ulang UUD 1945. Namanya meracau tentu tiada terlalu banyak daya-upaya, namun aku masih punya kewajiban yang katanya sedikit tetapi nyatanya tidak mungkin dikerjakan sambil-lalu. Satu ini mengapa banyak memukau orang, padahal kataku tak lebih istimewa dari lainnya. 

Justru lebih bertenaga jerami terpendek ini. Aku jadi ingin menyimak penyebab kematiannya obituari, tapi tidaklah. Kekerasan ini, keberisikan ini biarlah menemani, seperti seorang teman yang tidak peduli keberadaanku, tidak pula membutuhkanku. Seandainya tiada hiruk-pikuk ini, desau bergumam banyak mulut berbicara bersamaan, mungkin dapat lebih kunikmati simfoni disharmonis ini, yang menciptakan keindahan tersendiri dari masa mudaku. Seandainya saja ini mengilhamiku untuk lebih giat berolahraga. Mungkinkah kulakukan sekarang. Sangat mungkin.

Pada titik ini aku dibawa kembali ke comberan besar di depan Kees Broekmanstraat dengan jembatan di masing-masing ujungnya. Jika aku sedang malas memutar jauh, maka dua jembatan di atas comberan itulah, bersama dengan Kees Broekman dan Ijburglaan menjadi lintasan dzikirku. Bisa ayat-ayat Qur'an dengan alat bantu, bisa dengan mulut dan hatiku sendiri kuulang-ulang. Apa aku akan menyalahkan hawa, cuaca, dan iklim seraya membandingkannya dengan 5 tahun lalu. Memang beda, bukan. Jadi, menyalahkan atau tidak, memang menyebabkan segala perbedaan.

Hari sudah mendekati akhirnya menurut sudut pandang Arab (dan Islam?) atau baru sampai pada tengah-tengahnya menurut orang Jawa (dan Hindu dan Yunani?). Aku masih belum juga beranjak mengerjakan apa yang harus kukerjakan. Sekitar satu jam lagi mungkin aku akan kembali ke mushala mungil nan minimalis itu, mengingatkan diriku sendiri akan sejati dirinya. Memang aku hanya penyederhanaan, daripada repot seperti Rastafari tiap-tiap kali menyebut Aku dan aku, meski jujurnya begitu. aku budak, dan Aku suka jika budakNya mengAkuiNya.

No comments: