Tuesday, September 05, 2023

Biduanita Biduran Diberi-beri Vidoran Victoria-ria


Aku sudah kenyang tolol gara-gara macanku kakao. Memulai hari dengan.. Uah masa begini terus memulai entri. Apa harus puja-puji bagi Liz Pisani. Apa harus kuceritakan pesan instan Laurens. Apa komentar Prof. Agus Sardjono bahwa bentukku sudah seperti Buddha tertawa. Aha, ini boleh dicatat: hidangan ulang tahunku adalah nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya untuk seratus orang! Paling patut dicatat, di antara tebaran lauk mengelilingi tumpengan itu, ada dendeng sapi manis. Lantas ada juga tape ketan hitam. Untuk ini semua aku dibangunkan si Sopiwan.
Apa benar yang mendorongku menulis entri. Jika deskripsi mendetil Liz Pisani, seharusnya aku malah memulai menulis buku. Namun kau tahu 'kan, menulis buku itu tidak pernah semudah yang Nobita kira. Jadi Nobita tidak usah ikut-ikut menulis buku, ya. Ini jauh lebih lucu daripada rindu itu berat, biar aku saja. Aku memang begitu. Mainan yang dipajang di toko-toko memang banyak yang menarik hati. Namun aku lebih suka mainan yang kubuat sendiri. Seperti sekarang ini, mungkin ada bacaan hebat selain buatan Liz Pisani, tapi aku ingin membuat bacaanku sendiri. 

Tadi, ketika aku memarkir VarioSua, hampir saja entri ini berjudul ruang kerja bersama, atau setidaknya ada itu dalam entrinya. Kurasa sekarang memang ada, karena ruang kerja bersamaku ini aduhai kosong dan nyamannya. Betapatah bila tempat ini penuh sesak, hiruk-pikuk. Mungkin para penjual makanan di sini akan kesenangan meski sibuk bukan buatan, sementara aku dibuat tunggang-langgang karenanya. Wajarlah jika goggle translate mengira aku menulis dalam bahasa Melayu. Bahasaku balai pustaka begini. Jangan seperti pak Tanto yang kena apa, bukan mengapa.

Jadi kapan menulis buku-buku. Kapan berusaha memulihkan harga diri. Hidup itu berarti jika ada macan yang menemani, tidak untuk ditunggangi. Dokter Yusrizal Abubakar mengenaliku sebagai macan di antara kambing-kambing. Ia mungkin bukan macan, mungkin bukan juga binatang-binatang yang gagah dalam khayalan orang. Namun yang jelas ia adalah seseorang yang, tidak sepertiku, berdaya sintas tinggi. Kepalanya yang sudah botak sejak lima belas tahunan lalu, sedang aku masih agak lumayan berambut, menandakan itu. Selamat untukmu sekeluarga, Dok. 

Aku menulis entri sambil mengurus berbagai hal dari dunia nyata. Mengapa harus ada nyata dan khayal, mengapa harus ada cinta-cintaan. Tidak bisakah hidup seperti putri Mikum yang tadi pagi kuusir gara-gara ia sekadar mencari kehangatan di bangku bambuku, di tumpukan barang-barang yang sudah seperti sampah. Ada sebuah kisah mengenai dua kota di situ, oleh Charles Dickens. Ada berpikir ke depan oleh pak Teddy yang salah satunya berisi Maria Elena asal bunyi. Aku berkacamata menghadapi buku kromku seakan-akan sibuk berkarya; cuma mengitiki ketiak sendiri.

Tadi sempat juga terpikir untuk menulis mengenai Yogya. Sudah berulang kali kukatakan aku tidak menyukainya, jika yang dimaksud adalah kota tempat Katon Bagaskara pulang dan menangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapanya bersahabat penuh selaksa makna. Bukan yang itu. Yogya yang kumaksud adalah ruang kerja bersamaku ini, yang jangankan terisi penuh, setengah penuh saja kurasa belum pernah. Itulah yang membuatnya nyaman. Terlebih berjaket pemberian adinda Savit begini. Pendingin udara di sini tidak sejahat di manapun di kampus.

Sebelum kuakhiri, ada baiknya menyapa Farid Kusmasai. Entri ini juga tadinya hampir menjadi surat untuknya. Entah apa yang membuatku membatalkannya, menulis surat kepada Farid. Menulis surat itu jauh lebih intim, jauh lebih mencurahkan hati melangutkan jiwa, dibanding berpesan instan apalagi bertelepon. Aku sudah lupa rasanya bertelepon dengan seorang perempuan yang kepadanya aku tengah jatuh cinta. Cintaku pada istriku cantik sudah tidak jatuh. Kami sudah berdiri berpelukan seperti dua ekor kukang di tengah kejamnya dunia, dingin menjelang dini hari.

Menari-nari Bolu Meranti, Mencari-cari Jatidiri

No comments: