Sunday, December 10, 2023

Terkadang Rasanya Aku Seperti Berteriak Beraknya


Minggu bermendung, berudara lembab, pengap sudah kulalui entah berapa kali dalam hidupku, meninggalkan Minggu-minggu yang terik membakar, memanggang jiwa sampai kering-kerontang. Ada hari-hari seperti ini di rumah petakan di pinggir kebun coklat, ketika seperti sekarang ini, aku berkeringat bertelanjang dada, hanya bercelena pendek tanpa celana dalam, mengepul-ngepulkan asap djarum coklat atau sampoerna king, atau sekadar losta masta. Mungkin, seperti sekarang ini juga, aku menyanding secangkir kopi, mungkin hitam pahit tubruk begitu.
Begitu pula ini bisa jadi sekadar kegabutan Minggu, berjalan dari daerah Malberg sampai Centrum, mungkin tidak mampir Markt tapi langsung ke Zwanenstraat. Aku menyebut tempat-tempat seakan-akan orang-orang gedean yang pernah tinggal di berbagai negara. Padahal ke Zwanen mungkin aku sekadar minta makan, atau ditemani ngobrol oleh Budi. Bahkan setelah pindah ke Sint Antoniuslaan udara sudah hangat, musim semi sudah hampir habis, begitu juga dengan beasiswaku. Aku telah menghabiskan begitu banyak uang dalam hidupku. Seekor anjing kencing.

Demikian juga, rasa sakit ini bukan tidak pernah kurasakan. Aku ingat betapa sakit tangan kiriku ketika berjalan dari Statensingel ke arah Centrum, begitu pula bertebaran dalam blog ini catatan mengenai myalgia. Lebih baik kusugesti diriku sendiri, bahwa suatu hari kita 'kan bersama dan berbagi cinta ini selamanya. Itulah yang kurasakan jika memandangi Cantik dan apapun yang dilakukannya, apakah itu makan bubur ayam Cianjur dengan patkwa padi banyak-banyak, atau minta susu mbok Darmi sekalipun. Justru alpukat dan permen karet jadinya, masing-masingnya.

Lantas ke mana aku kembali jika kehidupan barat kesepian begini. Minggu bermendung begini memang cocok tapi apa sekelilingku, apakah usahaku untuk menangkap siaran Delta FM 99.5 the best oldies station in town masih dengan Aiwa. Mengapa badanku bau saos sari sedap begini. Mengapa kuganti saluran dakwah politik menjadi kotbahnya Evelyn Nadeak bersama bapa John Hartman. Lebih baik aku kembali lagi ke lantai dua Laathofpad enam di akhir-akhir musim dingin, sebelum Sam mencuci dengan air panas di siang hari bolong, ya, kawanku Sam yang itu.

Bisakah gangguan jiwa tetapi tidak marah-marah, tetapi sekadar mandi, tetapi tidak memerlukan air malah mengeluarkan air, ya, itu mandi cudong-cudong bukan cibang-cibung. Suasana senyaman ini dicemari oleh Stuart and Denise, pelaksana halus ini, suasana musik populer kota di sepanjang jalan pesisir California ke arah utara sampai ke pangkalan rongsok Jones. Minggu bermendung seperti ini pula ketika kali pertama berkenalan dengan tebing menyala di Rancho Valverde. Entah berapa judul album cerita ternama pernah kukoleksi, mengapa selalu ingat Robur.

Kau membuatku tersenyum lagi setiap saat dan setiap waktu, Cantik. Terutama karena kenakalan-kenakalanmu yang seakan tak ada habisnya, karena memang kecil sekali, mengertinya belum banyak. Entah mengapa aku tiba-tiba di lantai empat Gedung D atau di tempat lain di kampus pada Minggu yang sepi bermendung, atau semacam libur hari raya begitu, atau entahlah. Seperti ketika Nokia 2100 sering menerima pesan singkat bertuliskan "loe sekarang ada di mana", yang sering kutambahi "enak lo sekarang ada di mana" dari waktu-waktu ketika John Gunadi masih hidup.

Setelah cukup lama, hampir sebulan, akhirnya ada entri baru. Tidak ada yang perlu disayangkan, yang ada adalah yang perlu disayangi, disirami dengan cinta. Seperti ketika menyusuri Borobudur Raya di Cibodasari, Tangerang sana, tiada sesuatu apa dalam hati kecuali keinginan untuk membahagiakan bapak ibuku. Suatu tekad yang sangat bulat dan kuat untuk melakukannya, meski harus merantau ke Magelang. Jika memang dibutuhkan oleh perjuanganku, dengan sendirinya akan datang dia yang menyiramiku dengan cinta yang kudamba. Itu keyakinanku sampai kini.

No comments: