Tuesday, September 12, 2023

Legendaris Tiga Bapak-bapak Berpelir Ta' Bersarung


Entah mengapa, lagumu selalu menghanyutkan perasaan jiwaku sampai di persekitaran juragan sinda pada awal Abad ke-20. Pada ketika itu, jangankan punya apa-apa, diriku pun aku tak punya. Hanya jalan pintas melalui apa yang sekarang menjadi pesantren al-Hikam II menuju rumah petakan yang kutekuri entah siang atau malam. Ada rasa takut menyelinap, namun mungkin itu sekadar peringatan untuk tidak membiarkan perut kekenyangan. Jika saja aku punya waktu, semua itu akan kumiliki. Semua apa dan mengapa harus dimiliki. Mana legendaris. 
Batang pelir bersarung, dipotong-potong melintang, ditumbuk halus dikeringkan.
Bapak pertama duduk menekuni pekerjaannya di tepi jalan raya yang ramai. Di atas kepalanya ada terpal yang disangga dan ditulangi oleh batang-batang bambu, sehingga ia teduh dari amarah matahari yang membakar. Ia duduk mengampar di atas selokan bertutup beton, mengenakan batik yang lumayan rapinya. Tiba-tiba aku terhenyak, bagaimana kalau ia terbiasa kerja kantoran. Di sekelilingnya berbagai sampah yang tertata rapi seakan peralatan kantor di atas sebuah meja tulis. Ia tampak sibuk menggaris-garis dan menulis-nulis, bak semenjana.

Bapak kedua memarahi anak perempuannya--yang kebetulan, seperti ibunya, sedap dipandang mata--karena menghisap uap beraroma. Anaknya ini, sebagaimana kedua orangtuanya, berbakat di bidang hiburan: menari, menyanyi, menjual barang dan jasa, digemari remaja tanggung dan bapak-bapak tak tahu diri, membangkitkan khayal yang tidak-tidak mengenai kehidupan suami-istri atau sekadar kesenangan birahi sesaat. Bapak ini, selain dipuji dan dipanggil haji, juga dicaci karena menyuruh anaknya untuk menyukai apa yang disukainya. Mana salahnya.

Bapak ketiga dan terakhir tidak neben tetapi untergeordnet terhadap diri-rendahnya sendiri. Tahi upilnya selalu menguarkan bau yang sesungguhnya tak sedap namun, justru itu, memabukkan dan membuat ketagihan. Ia mengurut-urut batang pelirnya yang telanjang, karena jika masih di balik celana maka itu namanya menggaruk-garuk; meski seringnya kena kantong menyan yang gatal selangkangan. Ia menghina pluralisme hukum dan terjun bebas membuta ke dalam neo receptio a contrario yang kemungkinan besar tidak didukung bukti empirik solid.

Jika bapak pertama sampai bertemu bapak kedua, mungkin tidak akan terjadi interaksi terlebih transaksi apapun. Bapak kedua kemungkinan akan berlalu saja di mobilnya yang lumayan bagus berpendingin udara tanpa pernah menyadari keberadaan bapak pertama. Bukan berarti bapak kedua jahat atau tidak punya empati sosial. Dalam legendaris ini, saya hanya tidak mau merepotkan beliau jika ternyata tidak berkenan. Bisa jadi juga, entah bagaimana caranya, empati sosial bapak kedua lebih besar dari saya. Bisa jadi ia seketika mengaruniakan perhatian pada bapak pertama.

Nyatanya, dua kali bapak ketiga berlalu di hadapan bapak pertama, tidak terjadi interaksi apalagi transaksi apapun. Memang sempat terlihat sekantung penuh kopi sasetan yang kelihatannya masih ada isinya. Mungkin ada orang baik yang ingin bapak pertama lebih semangat mengerjakan apapun yang tengah dikerjakannya, dengan memberinya beberapa bungkus kopi beserta gulanya sekaligus. Namun bapak ketiga tidak melihat sedikit pun ada termos atau dispenser air panas. Jadi bagaimana bapak pertama menyeduh kopinya tetap menjadi misteri kini.

Sementara itu, kemungkinan bapak kedua dan ketiga sama-sama tidak berminat untuk berinteraksi dan bertransaksi. Kehidupan mereka mungkin sangat jauh berbeda, bahkan bertolak-belakang. Yang ada, mengutip Bayu Vita, bapak ketiga iri pada bapak kedua yang dikaruniai anak-anak perempuan, yang mau mengecup pipinya, meski minta uang seratus ribu rupiah untuk setiap kecupan, totalnya dua ratus ribu rupiah dua kali kecupan. Namun sudah barang tentu itu bercanda. Bapak ketiga hanya berteman buku harian digitalnya yang tolol seperti dirinya. Itu saja.

No comments: