Saturday, September 30, 2023

Kutahu Ini Bunyi-bunyian Belanda. Dari Dulukah


Ketika jatuh sampai di bawah 30 itulah, bukan derajat melainkan persen, aku berhenti. Aku bahkan tidak berani mengakui di sini apa yang kuhentikan. Rasanya malu jika sampai ketahuan, dan jika begitu maka banyak betul kemaluanku. Haruskah aku tak peduli pada kambingku yang membandot, yang ingin membuat animasi dewasa, yakni yang berdarah-darah kental. Haruskah aku memompakan realisme sosial padanya sedang aku sendiri tidak begitu percaya. Maka kambing minta segera ke rumah ayahnya, meski masih belum pulang dari les bahasa Arab. Aku maklum...
Anak-anakku adalah anak-anaknya Janus, Azurat, dan 'Wak Karib, maka aku kembali ke 14 tahun yang lalu ketika aku merindukannya, ketika dedaunan musim gugur mulai berguguran. Aku suka di sini, tidak sampai kepanasan, namun jelas tidak kedinginan, karena keringat bahkan masih mengalir sepanjang batang leherku. Bisa jadi aku tidak akan pernah menjadi apa-apa kecuali diriku yang sekarang ini. Bisa jadi hanya ini yang kutinggalkan, tiap-tiap kali tujuh alinea ini. Orang-orang yang lalu-lalang ini, yang lebih banyak dari biasanya, bisa jadi selalu dan semakin banyak.

Hati-hati Amerika dan peluang-peluang memang berada dalam permainan panjang yang sama, tetapi urutannya tidak begitu; seharusnya disusul dengan menjaga cinta tetap hidup. Namun itu jauh lebih baik daripada tersesat dalam cinta, dalam bilik gelap entah yang mana. Kurasa Pram dan Bung Karno sama-sama filoginis. Aku jelas tidak, semata karena pujian dan kekagumanku mahal. Tidakkah kisah-kisah kepahlawanan itu melelahkan. Tidakkah kisah mengenai keseharian penuh kesederhanaan lebih mendukung produksi melatonin. Cuih, adrenalin tak pernah kusuka. 

Terang bulan, terang di kali, terang saja udara panas begini; sedang Cikumpa sudah tidak ada bunyinya sama sekali. Sungguh aku tidak menganggapnya sepele. Aku serius sekali mengenai hal ini, meski selalu kuragukan ketulusan minta ampunku. Kurasa jauh lebih tulus siapapun yang mengais rejeki di bawah perkasanya matahari, yang keperkasaannya bertahan bahkan sepanjang malam kecuali hanya beberapa saat. Selama ini aku selalu hati-hati memilih perkelahianku, seperti Ned Begay; menahan diri meski diseret dilempar keluar warung minum bilagáana.

Sudah setahun ini kemaluanku besar sekali karena terpaksa mengemis ke sana ke mari. Kini hanya satu harapku: Ini semua segera berakhir. Aku hanya suka di pojokan ruang kerja bersama ini, meski sebetulnya sebuah tempat makan. Itu bukan, jika memang mahal gaya hidupku, aku pasti sudah di ruang kerja bersama sungguhan yang mahal-mahal itu. Aku tidak. Di sini modalku hanya 20 sampai 50 ribu ditambah parkir sekitar lima ribu lagi. Jauh lebih kusukai daripada warung-warung kopi kemahalan. Di depanku masih ada risoles ragout ayam dan es teh hijau.

Lantas kerjaku apa, menjaga suasana hati tetap kondusif, menjaga kewarasan. Aku ini apa. Kolaborasi riset internasional. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Aku saja yang mengolok-olok segala sesuatu. Aku yang selalu murung dan bersedih sedangkan seluruh dunia diliputi keceriaan dan kebahagiaan. Jangan lupa bahagia adalah suatu ketololan yang nyata, sedangkan yang benar adalah jangan lupa bersyukur. Memang salahku mengarahkan pandang selalu kepada segala sesuatu yang membuat murung dan sedih, namun bukan berarti iaitu tidak ada, bodoh.

Hidup mengajariku, yang tampak bodoh olehku justru seringnya ceria berbahagia. Jadi tidak perlu khawatir jika kambing ingin membuat animasi dewasa berdarah-darah kental. Apa aku akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di akhirat jika sampai begitu. Aku hanya harus memastikan cara hidupku, gaya hidupku, jalan hidupku sesuai dengan tuntunan Allah dan rasulNya. Syukur-syukur, anak-anakku mengikuti. Mereka sudah terlalu besar ketika ikut denganku. Tidak banyak pula yang dapat dilakukan. Ya, entri ini hampir koheren meski tetap saja esai puitis.

No comments: