Thursday, September 21, 2023

Malam yang Dingin Aku Menyendiri. Dingin-dingin


Dengan nostalgia ini aku terhenyak, kepalaku meneleng ke kanan belakang tanpa kusadari. Aku langsung mengetik meski belum ada pemegang tempat, belum dirata kanan-kiri, belum diberi gambar. Namun judul sudah, dan begitu itu judulnya. Aku tidak betul-betul sendiri, maka kukata menyendiri. Seperti biasa, pada posisi ini, maka dapat kurasakan sejuknya udara malam, istriku berbaring-baring sambil main henfon di ranjang. Uah, tiba-tiba saja aku terlempar ke suatu senja kala nada yang prospeknya sangat tidak cerah. Malam ini aku tidur berteman halelepah!
Ini, jika kau peduli, adalah almarhum Tjahjo Kumolo Nimbo Kalihewu
Apakah melodi-melodi ini yang biasa menemani pemandangan indah dari negeri-negeri yang jauh atau ruangan-ruangan cantik, sedang bapak tidak lama lagi akan terbangun dari tidur siangnya. Aku tak sanggup, karena hidup memang terus melaju ke depan. Adakah harapan akan terwujudnya dambaan-dambaan, maka biarlah kubiarkan rambut tipis seadanya digerai di depan clavicula, yang merupakan karpet merah menuju buah dada, menurut ibu Fowler. Mengapa berpayah-payah, cukup ingat Yahudi Italia yang mati demi anaknya sampai dapat tank sungguhan; setidaknya naik.

Uah, akhirnya berakhir juga dua bar yang diulang-ulang entah berapa puluh kali, dilanjutkan dengan melodi yang tak terantai. Jika dimainkan seperti ini, suasana apa yang dibawanya. Meski botak tambun menjijikkan begini, aku masih laki-laki, meski rayapku mati. Apa yang kulakukan semata-mata untuk diriku sendiri, meski yang kuinginkan sekadar rasa nyaman. Tak lagi kutemukan kesenangan dalam hati berdebar-debar. Apakah karena memang aku terlahir pengecut dengan perut yang lemah mudah bergolak. Apa nyaliku sebesar biji sawi, apa pentingnya semua ini.

Guratan, tarikan artistik, estetik, semata keindahan yang tercerap panca indera, ketika leher jenjang dipertontonkan oleh tutup kepala ibu-ibu pengajian. Untunglah melodi sedap ini membawaku pulang ke masa kecilku, ketika semur tahu dan sop kacang merah adalah surga firdausku. Terpisah jauh sekali sambil memejamkan mata mencoba membuat semuanya masuk akal, segala sesuatu yang terjadi dalam rentang lima windu. Justru kemasukan akal, seperti dorongan naluriah untuk melebarkan paha; kemasukan ular kasur sebesar lemper. Terasa asing aku.

Ternyata tidak, memang sudah lama saja tidak bersua. Aku menari-nari berputar-putar di bawah guyuran kelopak bunga jingga muda. Wajahku tengadah tanpa tuntutan apapun, gugatan apapun. Bahkan jika terhidang di depan hidungku pempek dengan sedikit sekali tepung tapioka, sedangkan hampir seluruhnya dari daging ikan tengiri bahkan belida, dengan kuah manis-manis legit dan cuka yang tidak mengiris dinding lambung, aku memulainya dengan mengendap-endap, untuk kemudian lari cepat-cepat. Memang seingatku di sini ada dua ini yang model begini. 

Kegurihan adalah kata benda, bukan kata sifat yang artinya terlalu gurih dengan konotasi negatif. Aku kembali memejamkan mata untuk menghadirkan tiada sesiapa, mulai berlari, awalnya berjingkat-jingkat, akhirnya lintang pukang. Justru di waktu-waktu seperti ini engkau harus melaluinya dengan berlalu tanpa bertalu-talu. Segala kelezatan itu hanya tipuan khayalmu, seperti fatamorgana bernama Elvira Madigan yang mengajak mati seorang perwira kavaleri, bangsawan pula. Gurih-gurihnya hanya tetes-tetes air comberan penuh sisa-sisa nasi, mie, serta biji cabai. 

Kuangkat telunjukku tinggi-tinggi, tidak kurahkan ke depan seperti sedang meruqyah. Aku tidak peduli lagi apakah ketiakku terpampang jelas, apakah penuh berambut dengan bulir-bulir peluh di sela-selanya. Aku tidak peduli, sebagaimana tiada yang peduli apakah aku kesepian malam ini atau adakah yang kurindukan. Tak satupun rindu padaku, maka kukerutkan kening seakan berpikir keras, padahal mencoba mengirim pesan melalui telepati kepada siapapun yang sudi merindukanku dengan sedahsyatnya: Apa studi hukum adat memelopori studi ekonomi politik.

No comments: