Tuesday, October 03, 2023

Aku Rindu Pada Sejatinya Sahabat Tak Berkelamin


Apa peduliku, jika sebaris yang seharusnya mengawali sebuah entri justru menjadi judulnya. Masa musik jez alus begini rupa membawaku ke malam-malam di Plempungan atau lain-lain pedalaman pedesaan Magelang, atau bahkan Legok Angris Bojong Nangka beberapa tahun sebelumnya. Ini kan juga bisa kehangatan 25 D8 sedang di luarnya dingin menggigit, mungkin berangin. Ada helikopter mengapung di udara di dekatnya, yang kukira alat berat. Memang berat memutar bilah sayap berputar, terlebih jika lebih dari dua, terlebih beberapa meter panjangnya. 
Aku sudah mengantuk dan tidak seberapa segar, namun kupaksa juga mengetik karena rindu padamu yang sebenarnya diriku sendiri. Aku memang tidak pernah benar-benar punya teman kecuali diriku sendiri, yang mengantarku ke kamar yang kupakai berdua dengan adikku. Tempat tidur susun itu selalu, aku di atas. Dari tempatku dapat terlihat meja makan  yang sangat jarang sekali dipakai makan. Kami lebih sering bertebaran di ruang duduk depan atau depan tivi. Ada anjing menggonggong, lalu melolong di pojokan depan tanah kosong, rumah kosong itu, hanya untuk dua tahun lamanya. Aku belum tersengat saat itu.

Sengatan itu, yang selalu menyambar bahkan di usia tuaku. Seperti ketika menaiki tangga ke kantin atas, selembar itu atau beberapa utas menyengat. Orang mungkin melihatku menunduk atau memandang dengan tatapan kosong dan sendu, namun mataku nyalang ke mana-mana. Aku yang menyusuri jalan radio empat jika berangkat, entah mengapa aku menyukai jalan itu. Tak pernah pula aku mencuri pandang. Pandang untuk ditatapkan, dihunjamkan sampai terasa itu menohok. Jika tidak pernah pergi maka biarkan saja di sudut itu aku, dia bukan siapapun.

Sebanyak apapun dikeremus, digelegak takkan menghilangkan lapar dahaga karena memang tidak pernah. Bukan itu benar tetapi kisah rekaan mengenai seekor tikus, penuh sandi begini, penuh tipu-daya. Ah, ternyata memang ada dan asalnya dari situ. Si tolol yang tidak pernah tahu apa yang diinginkannya dan terlalu malas mengusahakan apapun. Kebohongan dan khayalan saja yang dihasilkannya, tak satupun pernah nyata. Tidak juga karena memang tidak pernah ada yang istimewa bagi hidup yang selalu sepi, yang tiada arti, tak pernah lepas dari penderitaan.

Tak satupun, astaga, tak satupun, meski memang tidak akan pernah ada yang satu itu. Aku kembali ke kos Babe Faishal demi dekatnya jarak antar kedua mata dan kecil-kecilnya anggota gerak. Habislah sudah masa apapun yang tidak bisa lagi diberi nama. Aku tak pernah terlalu menyesal tidak pernah benar-benar jago bermain bola ketika Brondby sudah kubawa entah berapa kali menjuarai Eropa sampai bosan. Entah mengapa dari tadi dorongan untuk merentangkan tangan atau menunjuk langit selalu tanah-tanah kosong di sisi timur Margonda sampai ke tepi Ciliwung.

Pagi-pagi di kampus Universitas Indonesia Depok selalu belum atau kurang tidur semalamnya, jikapun ada yang menyandarkan kepala pada bahuku. Sudah barang tentu rokok agak sebatang dua, meski sepertinya merokok tidak enak jika kurang tidur. Terlebih sarapan mi goreng dobel goreng bakso dilanjut lari-lari naik turun tangga curam bisa membuat kehabisan nafas. Di titik ini hanya ada Jenny yang bentuknya mengerikan dengan rambut keritingnya yang dibiarkan panjang. Aku ingat itu 2001 dan udara panas bahkan di malam-malamnya, maka 2002 banjir besar.  

Biarlah dipukuli xilofon begini dari kecil yang seringkali manisnya. Biarlah begini saja maka kurentangkan tangan lebar-lebar, kutengadahkan kepala menantang langit seakan lelah pada hidup dunia. Jika pun kemudian membuat gerakan-gerakan seperti akan berubah menjadi ultraman, aku tidak ambil pusing jika ternyata berubah menjadi apapun, kuda nil sekalipun. Jika memang bukan bagianku, aku tak akan minta. Terbersit dalam pikiran pun akan segera kutindas dan kugiling di bawah tumit. Aku seperti seorang medik yang membawa senapan runduk, tentu tak pernah.

No comments: