Wednesday, December 27, 2023

Kembalikan Belah Rotan Waigeoku Padaku, 1983


Dari 40 tahun yang lalu! Maka malam ini agak lain. Aku mengetiki dulu, baru kemudian dipasangi gambar, atau tepatnya, ditempeli perangko. Bahkan, mungkin, malam ini pun aku tidak perlu peduli rata kanan kiri, ya, gara-gara ditempeli perangko itu. Sebelum memulai ini, sempat terpikir untuk memulai entri dengan tuduhan-tuduhan kepada siomay atau boncabe level 30. Namun ternyata belah rotan waigeo lebih memukauku. Betapatah tidak, dari 40 tahun yang lalu. Aku masih kelas 2 SD, berangkat sekolah sekitar jam sembilan pagi kurang. Mungkin adikku sudah pulang, karena kelas 1, 2, dan 3 memang bergantian saja memakai kelas...

Paginya indah, siangnya indah, sorenya indah, malamnya pun indah asalkan Bapak tidak dinas malam. Apalah susahnya hidup bagi anak umur 7 tahun, kecuali jika harus tidur sendiri di kamar belakang. Sedangkan di antara kamar bapak-ibu dan kamarku dan adikku ada hiasan-hiasan dari porselin bergambar kepala orang Afrika. Lelakinya coklat agak miring berahang kukuh agak menyamping, sedangkan perempuannya hitam berwajah oval menghadap penuh ke depan. Lama-lama dipandangi seram juga, akhirnya aku tidak tahan dan mengetuk-ngetuk, setengah menggedor, pintu kamar Ibu, sedang adikku sudah dari tadi tidur di situ...

Uah, akhirnya aku bersama lagi dengan belah rotan waigeoku, seperti ketika Maestria Iopilatula melaungkan ratapannya agar Balinya kembali padanya. Kantor pos di pojokan gedung olahraga (GOR) itu, yang tidak pernah memberiku kebanggaan apalagi kemasyhuran... dalam berolahraga. Namun aku pernah membuat satu GOR membentur-benturkan kepala mengikuti gebukan drumku, menghitamkan satu GOR bersama Biodeath. Demikian pula ketika kugulung pipa-pipa lengan dan celanaku, menghitung-mundur ke kepunahan dan aku lebih membencimu.

Memang tidak semua ide dapat diwujudkan, maka biarkan saja. Sebungkus Indomie Jumbo biru diberi berkuah menjadi lauk makan malam, masih ditambah beberapa lembar pisang goreng bertabur kental manis, gula semut, dan parutan keju. Jangan heran bila asam lambang naik ke kerongkongan, sampai terasa mengganjal di tekak. Tidak ada yang mengherankan dari ini semua. Mungkin karena kebiasaanku congok dari muda. Aku masih ingat di pavilyun bicara mengenai masa depan bersama Bapak sedang isi dan asam lambungku rasa seperti mau melompat keluar.

Perry Kingkong, selain menjadi Cody Allen, ternyata juga menjadi Toby Temple. Ah, tidak sesuai dengan bayangan. Memang trio Joe Penny anak Depok, Perry Kingkong, dan Thom Byar sungguh legendaris sampai diabadikan di lembaran bergambar (lembergar). Aku berjalan di sekitaran Rembrandtplein, tapi makanku tidak makanan mahal yang banyak dijual di situ. Makananku tetap kapsalon karena hari sudah malam. Aku tidak pernah ingat makan kibbeling di malam hari. Selalunya ketika hari masih terang. Terlebih udang surimi dan kerang, rasa-rasa nan lekat terkenang.

Bahkan roti lapisku kini terkenang-kenang, tiga kerat roti gandum kasar, selembar filet kalkun, selembar keju muda, beberapa oles salad kentang, saus kari, masukkan pemanas gelombang mikro sebentar, siapkan sup instan, bisa sup ayam atau tomat Cina, atau apapun. Selalunya memang ada yang harus diurus, yang merepotkan, yang jika tidak bisa membahayakan. Selalu seperti itu. Ditunda-tunda, ketika waktu sudah nyaris habis atau bahkan jauh terlewat, segala kesulitan menerpa seperti sejuta topan badai. Aku suka kemudahan. Aku enggan repot dan pusing.

Bahkan bakmie goreng di sebelah kanan jalan ke arah persimpangan Bendungan Jago selalu terkenang-kenang. Bahkan gudeg murahan yang tahunya sudah cuwil pun, entah mengapa begitu kenanganku. Otot-ototku tidak dempal seperti Galeng yang petani, atau Kala Cuwil yang prajurit. Bahkan bentukku semakin seperti semar bolong di depan pecel Mbak Ira. Seenaknya saja ia menyompret di telingaku, dilanjut menghembus-hembus, sedang piano tidak berhenti ber-kethuwal-kethuwil. Malam telah kelewatan tengah-tengahnya, seperti biasa, tiada makna kata yang terucap.

No comments: