Sunday, September 17, 2023

Cerminan Alasan Asal-asalan: Keselesaan Semenjana


Adanya aku bisa menulisi lewat tengah malam begini, ada ikan sili alias belut api (mastacembelus erythrotaenia). Itu, di bawah itu, sudah mati karena berenang dalam minyak sawit panas. Sudah lama juga aku tidak mengetik di Lenovo AIO 520 ini, terlebih sambil bersenda-gurau di salju. Posisi meja tulis di sini menjadi sangat tidak enak gara-gara tetangga belakang mendirikan tembok tinggi sekali di hadapannya. Padahal dahulu, sambil mengetik di sini, aku dapat memandangi rumpun bambu mengering di tepi sungai seberang sana. Itu sudah delapan tahun lalu.
Lantas mau apa aku tengah malam begini, pandanganku tertumbuk pada gudang karena semua rumah kurasa perlu ada gudangnya. Apa mau meratapi nasibku tak beranak atau apa lagi. Kursi tetap kursi meski tidak ada yang duduk di atasnya, namun rumah bukan rumah kalau di dalamnya tiada yang memelukmu erat dan mengecupmu selamat malam. Aku menghangatkan badan di malam yang sudah hangat ini dengan secangkir teh tarik tanpa serbat jahe jintan hitam. Dikerok sisiknya hidup-hidup pasti lebih sakit daripada dikuliti, sungguh malang nasib ikan nila.

Entah bagaimana tadi ketika menyongklang VarioSua sedangkan udara malam berkesiuran di muka, aku terpana pandangan cinta. Ketika itu aku masih sangat remaja dan udara malam lebih dingin dari ini. Aku di antara Graha 17 dan 18. Waktu itu kurasa sudah ada isinya, tidak seperti setahun sebelumnya atau lebih ketika seekor katak pohon terbang melintas tepat di depan wajahku di Graha 13. Ingatan-ingatan ini tidak ada gunanya bagi kawan-kawan yang sama-sama mengalaminya. Ya, hanya ingatan-ingatan inilah kawan sejatiku, satu-satunya yang s'lalu setia menemani tiap waktu.

Aku bahkan tidak bisa mengingat dengan tepat seperti apa tahu bakso buatan bu Karim, mbak Anik, dan mbak Henny. Sudah barang tentu ada bakso lengkap dengan mie kuning dan bihunnya, juga sawi, tak lupa saus tomat yang sangat bersahaja, kecap manis, dan tentu saja sambal. Selain itu tentu saja mie instan yang bisa dipesan lima bungkus jadi tiga mangkok, yang membingungkan mbak Henny. Uah, masa-masa ketika hidup belum diharu-biru romansa. Surat selalu kepada dan dari ibu, mana kutahu jika hidup percintaanku, seperti hidupku, ternyata menyedihkan.

Entah mengapa di titik ini aku terhisap ke waktu ketika sepatu olahragaku kanan semua beda nomor pula. Entah bagaimana aku menyalahkannya untuk semua kekusutanku selanjutnya. Padahal, ketika aku masih memimpin suporter bersama mentor Oni dan mentor Samsul, sepatuku masih baik-baik saja. Apalagi ketika aku masih jadi atlet lempar cakram, aku rajin berlatih hampir setiap sore. Perubahan dari tenor drum menjadi bellyra juga sering kusalahkan sebagai biang keladi, maka kupilih flute bahkan piccolo; pikirku lebih berguna untuk bermusik selain drumband.

Selebihnya adalah besame mucho yang pukulan bass drumnya menggelikan, meski aku juga tidak suka versinya sekarang yang ikut-ikutan Akademi Militer. Aku ingat kawan-kawanku berebut alat. Aku yang rumput sepenuhnya di kelas tiga itu tentu lebih suka tidur-tiduran. Takwa tidak ikut karena dia tetap seorang polisi keamanan sekolah sampai lulus. Bagianku adalah memijat ibu jari Ari Prihantoro sang panatarama yang terkilir gara-gara memutar-mutar dan melempar-lempar stik. Aku tidak habis pikir betapa panatarama kedua bergabung dengan korps keuangan.

Maka kini, gara-gara aquamarina, aku kembali ke jalan Yado II bahkan ketika aku belum lahir, atau setidaknya masih kecil, ketika di puncak tiang listrik besi masih ada gelas-gelas kecil berwarna kehijauan. Lalu aku terlempar jauh sekitar dua puluhan tahun ke pantai panjang yang selalu membuatku sedih, karena ia membuat bapakku sedih. Mungkin aku harus mengeraskan hati, jika aku tidak pernah melakukannya sebelumnya, maka inilah waktunya. Jika sampai begitu, maka ini gara-gara bualan tolol di tepi parkiran motor McDonald's Kartini, Depok sambil minum es teh leci.

No comments: