Saturday, August 31, 2019

Hari Terakhirnya Agustus Tahun Baru. Islam


Siakle, aku bahkan sudah mulai menulisi sejak shalat dhuhur tadi. Ya, ya, aku tahu seharusnya bukan siakle, melainkan istighfar dan ta'awudz. Sudah kulakukan. Ketika shalat tadi, benakku menulisi, Seekor Merpati Putih adalah apa yang ingin kudengarkan. Dapat kubayangkan kesedapannya, manis atau gurih-gurihnya. Well, tidak mungkin manis. Gurih masih mungkin, pahit bisa jadi. Dapat kubayangkan semuanya. Wajah bapak ibunya, yang segera mengingatkan pada diriku sendiri, pada Manuela Escobar, dan tentu saja pada Pablonya sekali. Escobar, siapa lagi.


Ini sakit kesakitannya, tersiksa ketersiksaannya, menepis keterpisahannya. Ini melodrama.
Sangat mungkin aku tidak akan mendapatkannya di manapun. Tidak kini di sini, tidak kelak di sana. Jika demikian lantas bagaimana. Naudzubillah. Hanya ini yang kupunya. Aku hanya dapat bergumam-gumam membatin, kemana saja aku pada waktu itu. Aku sekarang masih persis seperti aku ketika itu. Siapa yang dapat kusalahkan untuk ini. Tidak ada. Es krim stroberi atau sebutir peluru yang menembus lubang telinga, tidak peduli kanan atau kiri. Apakah darah atau ludah yang melumuri, sudah sering kukatakan aku tidak suka pembaca berita atau sejenisnya. "Kau... jalang!"

Terlebih gadis sampul! Sudahlah, tidak ada yang peduli pula apa yang kusukai. Mungkin yang kusukai itu memang tidak ada, atau kalaupun ada, tidak ada padaku. Jadi tidak ada. Jadi, yang ada saja. Sebatas ini saja tidak berbatas apa. Jangankan gajah, akupun kembung selalu. Akan tiba harinya aku kembung namun tidak merasakannya lagi. Takkan pula perutku dibelek, dimasukkan pelacur hidup ke dalamnya. Dibuang ke tepi hutan, ke tepi kota. Diganyang anjing dubuk atau burung ruak-ruak, kepala pelacur hidup itu menyembul keluar sedang perutku dijahit kembali. [Ah]

Lantas, suasana jiwa seperti apa yang sesuai untuk menguatkan hati lelaki menempuh perjalanan di bawah terik matahari, atau gerahnya cuaca musim kemarau meski dalam keteduhan. Betapa menderas membahana segala kebatan dan kebitan, mendentam dan berdebam. Namun kini ketika menghadapi batu karang, ia tidak ubahnya hujan sesaat. Segala ragaan ini tidak berdaya meski ditingkahi terompet berpengedam, sedang yang kubutuhkan adalah penguat hati. Tidak. Aku tidak lagi menyesali jika hasilnya ternyata hanya ini, sekadar ini. Sekadar ini pun tentu boleh 'lah.

Dari segala kebat yang mengebit, kebit yang mengebat, di antaranya nasi uduk Bandung. Tidak. Lantas ketidaksukaan manusia yang berujung pada cacian, campakan, atau sekurangnya abaian. Kebatan tiada daya, kebitan tiada guna. Semuspra cinta remaja yang bahkan remah-remah pun tiada bersisa. Ini bukan permainan kata-kata, apalagi ajang pamer kosakata. Ini eksibisionisme, ya, ini pameran perihnya hati. Sekonyong-konyong teringatlah kepada Godfather of [the] Broken-heart[ed], juga pada berbiasalah, berbahagialah. Tidak. Betapatah hati tercubit oleh "bukan."

Satu ke yang lainnya berjarak hanya sekitar 3 (tiga) tahun belaka. Aduhai, dalam 3 (tiga) tahun itu entah berapa kali arasy bergetar, merujuk Mang Bedon. Lantas, kau menyalahkannya. Dapat kuingat, ya, meski tiada sama-sekali bekasnya, dan tidak akan pernah kucari, masih terasa lekat hijau-hijaunya, kabur-kabur margarin atau minyak jelantahnya. Lantas, kau tanya kena'apa. Mil pakai star atau tanpa star tidak tahu bedanya, dari masa-masa itu. Lantas kaukata, aku kausuruh berbahagia, aku kausuruh biasa. Tidak ada alasan, 'Mantra. Kesakitan itu biar aku sedap-sedapi saja.

Rambut-rambut halus itu tiada berdaya. Tidak sanggup jika memang entah mengapa aku tidak berkata-kata. Semua itu, ketidaksempurnaan itu tampak sempurnanya, kebulatan keindahannya. Haruskah kutunggu bagaimana jika ternyata tidak menunggu. Cerowetan saksofon alto seakan mengejek, menghina segala nista. Kalimat dan kata, bahkan segala wacana takkan kuasa mengungkap kesakitan yang kurasa. Ah, sebuah desahan pendek saja tanpa mad, bagi terlewatnya peluang susu yang-bukan-susu merah-jambu. Meski, ya, meski, dua-duanya, coklat dan merah-jambunya.

No comments: