Monday, September 16, 2019

Malamnya Tambociek Demi Ekor Baboy. Aku


Beginilah rasa perut gendut ketika baru diisi dua somay, otak-otak, tahu putih, tahu coklat, kol masing-masing satu. Semua dua belas ribu Rupiah, tepat di ujung Jalan Kwini Satu Romawi. Lantas saja beberapa malam terpesona, amit-amit. Menyembunyikan makna dengan cara menebarnya tepat di depan pandangan mata, ya, di pelupuk matamu itu. Ketika tengkuk beruam dan pangkal lengan bawah kanan pegal menjalar sampai ke pergelangan, sampai ke telapak. Kau tidak melihatnya, tidak menanyakannya karena tiada ‘kan berjawab.


Atau biarkanlah kuragakan di sini agak sedikit, ketika mencuri-curi pandang ke arahnya. Bukan tersibak itu, melainkan dipampangkannya tepat di hitam-hitam itu. Aduhai aneh benar cara kerjamu. Ini terjadi padaku, di atas kasur penuh bernoda darah kehitam-hitaman. Ataukah jamur, ataukah noda darah berjamur. Tiada padaku alasan untuk memusatkan perhatian pada yang hitam-hitam itu, ketika semua saja hitam. Memang ada yang pirang atau sengaja dibuat warna-warni, namun aku hanya bisa bermuram-durja sambil berharap anak itu tidak diobat-tiduri.

Pada musim kemarau yang masih kalah perkasa dariku, bisa jadi ia yang menggendong anak itu yang kutiduri. Astaga, betul-betul tidak ada yang dapat kulakukan terhadap ini. Melakukan terhadap satu, melakukannya terhadap semua, di manapun, kapanpun. Hei, aku mulai menikmati ini, seperti Addie menikmati dadanya melesak diberaki Geli. Bukan tidak mungkin Addie menghardiknya pula agar mengencingi mulutnya yang menganga. Bukan tidak mungkin Addie yang berjiwa artistik itu menahan lidahnya untuk tidak menjulur-julur melata-lata, seberapa pun inginnya.

Jiwa yang pengap ini kurasa butuh pasokan udara, maka begitu saja aku kehabisan cinta. Aku tersesat tanpamu. Tidak ada pula yang dapat kulakukan ketika tempatku diambil. Begitu saja ruang pasca operasi bedah jantung ini penuh di malam terakhirnya. Sudah lama aku tidak ingat bagaimana caranya memaksakan kehendak. Jika tidak punya pun, apa yang akan dipaksakan. Mungkin ini pulalah alasan mengapa kitab kuning tidak boleh dipelajari sembarangan, tanpa bimbingan guru. Masih syukur bertengger di pojokan sini.

Dari pojokanku aku melesat mendapati Bapak disorot matahari sore. Kubawakan bantal dari ranjang kosong tempatku bertengger. Cerita dapat berakhir sejalan dengan berlalunya waktu, seperti halnya rujak petis entah di mana itu. Mengapa aku mengingatnya sebagai rumah Johan Wahyudi, si manusia katak tambun itu. Hei, baik Pessy maupun Johan sama-sama tambun. Aku belum lagi tahu Ariyadi. Ah, ia pun. Ada apa dengan swike-swike ini. Aku tambun karena… pemalas dan rakus. Kalian ‘kan ahli penghancuran bawah air.

Uah, di pojokanku kini bernguing-nguing nyamuk. Apa harus ‘kusiapkan Sofell demi kenyamanan malam terakhirku di sini. Bisa jadi. Aku hanya bisa berharap ia segera tembus. Semoga sore ini juga, sehingga esok hari ‘ku bisa tenang. Apalah arti beberapa jam, sedang aku tidak sedang meringkuk beradu punggung dengan dinding laut, sedang air pasang merendam hampir setengah tubuhku, sedang aku menunggu serangan balasan. ‘Kurasa aku harus bersyukur tidak pernah merasakannya, seperti Bapakku. Haruskah kubuat Adjie merasakannya kelak.

Rumah sehat adalah di mana orang-orang mendapatkan kembali kesehatannya, sesempurna-sempurnanya. Sedang aku tak berdaya melindungi Bapak dari sorotan matari sore. Apapun aku tidak berdaya. Mungkin, di abad keduapuluh satu ini, di umur setua ini, aku masih harus berbisik pada diri sendiri, bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja, karena ada waktunya untuk segala sesuatu. Pasti lebih dari duabelas jam, tidak mungkin kurang. Di sini atau di mana pun tidak ada Admiral Shibu. Memang tidak pernah ada.

No comments: