Sunday, August 11, 2019

Suatu Entri [Bukan] Mengenai 'Idul Adha 1440H


Sudah barang tentu tidak mungkin 'kubekerja. Bukan karena tempatnya benar. Kenyataan bahwa tempat ini ramai sekali mungkin juga bukan alasan. Mungkin memang harus seramai ini agar hangat. Namun aku sendiri yang tidak siap bekerja. Dengan gigi-geligiku yang terasa kotor mengganjal, badan yang terasa tidak segar benar, seperti kurang mandi, ini bukan suasana ideal untuk bekerja. Pendeknya, aku sendiri, bukan persekitaranku, masalahku. Sedangkan segala sesuatu selain diriku sendiri, sepertinya lumayan 'lah. Terlebih dengan telinga disumpal Tidak Pernah Hujan di Kalifornia Selatan begini. Boleh 'lah. Tidak menjadi apa.

Hari Demi Hari, apa. Demi apa. Baik biar 'kuungkapkan di sini. Mungkin Windows 10 memang terlalu berat bagi Asus E203M-ku ini, yang hanya 2 GB RAM-nya ini, yang karenanya hanya (hanya?!) Rp. 3,600,000. Namun biarlah. Nyatanya aku masih bisa mengetiki dengan rampak begini. Mungkin aku memang tidak butuh lagi sotosopan. Paling dia hanya harus kuat membuka beberapa halaman web sekaligus, mungkin juga beberapa pdf dan beberapa doc. Selebihnya, musik. Ini memang bukunet kerja. Bukan untuk yang lain-lainnya. Ini memang diniatkan sebagai gantinya HP Stream 8, entah mengapa diganti padahal masih amat baik jalannya.

Dengan air gula berperisa coklat begini, seharga Rp. 22,000 begini, meski dibayar pakai ovo masih kembali Rp. 6,600, makin tidak jelaslah suasana hatiku. Hanya 'kutahu, Engkaulah Hal Terbaik yang Pernah Terjadi dalam Hidupku. Terlebih pada sekitar pukul setengah lima petang begini, aku terkantuk-kantuk, sudah pasti karena aku kegemukan dan nyaris tidak pernah gerak badan. Tidak terlalu kupedulikan persekitaranku, sebagaimana halnya mereka tidak memedulikanku. Udara yang Kuhirup adalah melodi yang, tidak sampai jenial namun bolehlah. Aduhai ini hampir memasuki dekade ketiga abad keduapuluh satu, masih saja begini.

Terkadang satu-satunya yang kubutuhkan adalah udara yang kuhirup daripada mencintaimu, yaitu ketika cinta identik dengan berhubungan kelamin, namun tidak mengenai menghasilkan keturunan. Boa edan!

Apa jadi kutuliskan di sini kisah mengenai bandot, cempé, kuncup bunga-bunga krisan yang baru bermekaran, lantas Tiranosaurus Raja, lantas bandot ompong yang, jangankan rerumputan kering, mengunyah lidahnya sendiri dengan tulang rahang yang masih berbalut gusi. Uah, jangan-jangan gara-gara ini aku bisa masuk neraka juga. Amit-amit naudzubillah! Sementara itu, suasana hati sudah berubah-ubah entah berapa jungkir berapa guling, dari Bas Muys, mampir ke Benyamin, lantas Roadfill ini kembali ke Mari Tinggal Bersama kali ini oleh Anjinglawt. Ada lagi, Mick Hucknall menyanyikan Kau Membuatku Merasa Kinyis-kinyis tanpa menggunakan falsetto! Keterangan tiada guna, namun tanpa falsetto?!


Sudah! Aku tidak tahan lagi saban-saban memeriksa pratinjau. Mari kita kembali ke teknik lama saja, biar aku fokus di estetika bukan komposisi. Aku mengatakan ini semua seakan benar. Uah, memang sitar listriknya ini yang klangenan. Seakan dunia tiada akan pernah rusak atau bau. Senantiasa baru dan wangi. Tentu tidak ada yang seperti itu. Tidak juga dan terlebih lagi bunga-bunga krisan. Tentu saja pada suatu titik mereka kuncup, lantas merekah mekar menguarkan wangi, tentu saja begitu.

Pada suatu ketika pula mereka akan luruh, menjadi sampah. Sampah! Buat apa aku memaki dunia, aku bandot ompong yang mengunyah lidah sendiri, dengan tulang rahang berbalut gusi. Perutku tumpah ruah memberondongkan tai kambing bulat-bulat hitam pula. Aduhai namun ini benar-benar membelai, falsetto ini, meski Mick Hucknall tidak menggunakannya. Russel Thompkins menggunakannya dengan sangat fantastis, menjadikannya klasik. Buat apa ini semua, hah, Bandot Ompong berayap mati?! Itu saja kebisaanmu ‘kan, takkan lebih dari limapuluh tiga.

Di tengah kekesalanku, aku beralih pada Arina, kecerdas-barusannya. Haruskah kucatat di sini akhirnya aku berhasil memasangkan tikus blutut Mikrolembut pada Asus E203M-ku. Jadi apakah ini menjadi semacam hadiah ulangtahun yang dibeli mendahului. Aku tidak suka Arina, kau pikir kau cerdas-barus begitu. Ada juga aku iri ‘sih. Seharusnya aku yang begitu. Bagaimana kalian bisa sampai begitu, sedangkan aku harus berusaha jadi semacam dosen begini. Mana perutku tumpah-ruah begini, seperti Yang Memuakkan. Ini mengapa tiada habisnya.

Ini lagi. Nona entah siapa aku tidak mau tahu lagi, seperti aku tidak ketemu juga nama orang tua berjenggot panjang di kursi roda itu. Selama ini aku memang hanya menipu diri sendiri, ketika melihatnya menggendong hasil perbuatannya. Aku ini memang memuakkan. Bauku jijik begitu, seperti nanah berbakteri rajasinga. Astaga bahkan untuk ini saja aku tidak pantas, terlebih menjadi duapuluh bakat teratas. Teknik permainan bassku mungkin tiada seberapa, namun jika bicara penghayatan, bisa jadi aku unggul.

Apakah aku memang tidak pernah mendengar yang secantik ini, atau sekadar suasana hatiku sendiri di sore hari yang mendung ini. Bisa saja kukatakan tidak ada yang istimewa dari Bang Is, meski jelas karyanya sudah dinikmati begitu banyak orang termasuk diriku sendiri. Sedangkan Bang Is yang gendut itu sudah tamat riwayatnya. Tidak lagi ia akan terlihat bergentayangan di sepanjang Jalan Sawo balik rel. Segalanya hanya akan begitu, terutama diriku dan segalanya yang kubenci terlebih yang kusukai.

Apa ini harus tujuh, kesakitanku, ketergangguan-jiwaku, ketumpahan-ruahku, semua beraduk jadi satu. Haruskah aku menamatkan Bukan Pasar Malam ketika seharusnya kuselesaikan laporan penelitian lapangan. Mendengar-dengarkan begini seperti di Amsterdam, padahal aku di sini, engkau di sana, memandang langit yang sama, menonton iklan-iklan dari yang jadul sampai pawang hits. Itu dari tahun lalu, bagaimana tahun depan. Boa edan! Mengapa pula harus selalu memaki, mengapa harus terasa sendu. Mengapa harus berkedut-kedut mendengar kata itu, mana bisa ada bedanya.

Sungguh. Tanpa diresapi pun akan segera terasa betapa ketokaian-ketokaian bertebaran di mana-mana, meski mungkin ini semata-mata akibat aktivitas hormonal belaka, seperti jerawat atau bahkan bruntusan di wajah. Aku muak! Aku jijik! Salah, dong. Aku memuakkan itu yang benar. Aku menjijikkan itu yang benar. Heh, mengapa kauberi garis-bawah dua begitu, sedangkan dari tadi sudah begitu banyak salah eja yang kubuat. Tentu saja karena kita berbicara tidak dengan bahasa yang sama. Sudah. Rusak, tidak bisa diperbaiki lagi.

No comments: