Friday, May 31, 2019

'ngGeus! Ruksak Hari ke-26 Ramadhan-nya!


Begitu saja aku menekan tombol "new post" seakan tak peduli. Terlalu banyak jenderal ini, daimyo itu beberapa hari akhir-akhir ini. Ini suatu Jumat malam dan ada sambrahan. Apa karena ini Jumat terakhir bulan ini. Manja! Tidak pakai tanda seru juga 'kali. Aku apa. Aku tidak ingin memikirkannya. Lantas apa yang harus diceritakan, masa Cerita Rasa. Mie goreng Jawa-nya seadanya. Tempe mendoan bolehlah, tapi untuk tempat semewah itu. Semuanya bisnis belaka, lantas aku bisnis apa. Aku semata orang gajian. Pengusaha roti rumahan pun memandangku enteng.


Apa semacam pipel pawer enteng-entengan. Yang jelas ini edan-edanan, suasana yang ditimbulkannya. Terlebih dengan kesan dikelilingi Hamdi, Sandy, Takwa dan Steve. Orang-orang hebat ini. Dan Mas Santo begitu saja merusak suasana dengan pertanyaan teoritisnya. Sementara kopi ginseng miwon memperparah dengan menciptakan huru-hara dalam lambung dan kerongkongan. Intinya, suasana hati rusak, namun aku tetap memaksakan menulis. Hanya mungkin terhadap entri. Apapun yang lebih serius dari ini akan gagal total. Siapapun adalah perusak suasana hati!

Namun mari kita coba perbaiki sambil terus berlayar. Mau tak mau aku ingat pada usaha-usaha sia-siaku. Adakah aku percaya sepenuhnya, menumpukan semua harapan padanya, tidak juga dan tidak pernah. Ini pula mengapa habis rahasia-rahasiaan langsung meratap-ratap begini. Mau memaksaku melakukan aerobatik perasaan. Ada di dalam Kemacangondrongan ini beberapa catatan mengenai proyek-proyek kecil yang nyatanya menguap begitu saja di kemudian hari. Akhirnya aku tidak tahan sendiri dan menggantinya menjadi... jiah, mengapa keroncong.

'ngGeus! Ruksak! Mulai lagi dari awal. Satu rumah petani yang letaknya kurang tepat saja dapat membuatku menghancurkan sama sekali sebuah peradaban. Jangankan yang baru mulai tumbuh, sudah abad pertengahan, bahkan abad pencerahan sekalipun aku tidak peduli. Aku ingin bertemu orang yang benar-benar tahu gunanya penerbitan ilmiah, meyakini bahkan mempraktikkannya; karena aku malah terus-menerus membaca cerita khayal. Seakan itu tiada guna, hanya boleh jadi selingan. Kalau tidak berguna mengapa begitu membekas. Mengapa justru membentuk diri.

Entri ini pun, dari segala apapun, tak berdaya. Mengapa pula harus empat. Apa salahnya jika tiga. Mengapa tidak memperingati Hari Pancasila saja. Tidak. Ini memang untuk mengakhiri Mei, maka tepat di harinya yang ketigapuluh satu. Benar memang semata agar empat. Tidak ada alasan lain dan tidak ada pembenaran. Meski angan tiba-tiba melayang ke Armada, yakni, antara gerbang Cimone Permai dan Cimone Mas Permai. Dari masa kecilku, ketika aku seusia kambing balap bau ketonggeng. Begitu saja kuhapus dan aku tidak mau lagi berdoa di sini. Setan atau hantu pocong.

Aku lantas menemukan diriku berulang kali mengecek pratinjau. "Khayalanku tak berdaya, hanya satu impian semata. Khayalanku hanya Bu Susi." Ini juga ciptaanku sendiri. Tidak pernah benar-benar ada yang begini. Ini semata olahanku atas paradoks-paradoks kecil. Apa setelah ini aku mampu berfungsi. Apa yang mau kusalahkan kini. Puasa. Puasa yang sembilan belas jam itu, jika demikian, lebih salah dari yang lebih pendek lima jam ini, di sekitar khatulistiwa. Tidak tahu diuntung. Mau kucaci bagaimana lagi diriku sendiri, bahkan ini saja sudah tidak nikmat.

Sudahlah, tidak perlu kaucaci kurcaci pemakan kwaci. Jika memang sudah berlalu kenikmatan itu, biarkan. Berarti memang harus lanjut ke yang berikutnya. Perasaan tidak merasa apa-apa itu pun sudah tidak apa-apa, demikian Sersan Elias menasihati Chris sambil menikmati asap nirwana. Aku sebenarnya lebih Sersan Barnes dalam hal air api, namun ketuaanku sudah tidak mengijinkan. Jangankan air api, air neraka, asap tembakau saja sudah mengiris-ngiris lapisan epitel lambung. Tidak merasa apa-apa, itu saja yang masih dapat kauharapkan. Meski Proyek Alan Parson, kini.

No comments: