Saturday, June 22, 2019

Rama Bharata Lakshmana Shatrughna. Anoman


Apa kau pikir seperti Forrest Gump begitu, lucu. Ini Cinta Sejati mengapa 'lah melonjak-lonjak berjedag-jedug begini. Ini suatu onomatop, dan anak tolol itu minum obat-obatan penenang. Semua kebat, segalanya kebit. Rayapnya mati. Lebih baik begini. Lalu empat tiga itu bagaimana. Aduh, mengapa begini selalu entri. Bahu untuk Menangis Padanya, adalah jip hartop berembun. Aku masih ingat dingin-dinginnya Tangerang Kota akhir '80-an. Bagaimana aku tahu jika hampir 30 tahun kemudian begini jadinya.

Hatiku dipenuhi begitu banyak cinta dan aku membutuhkan seseorang yang dapat kusebut sebagai milikku sendiri. Tolol ini daftar-main! Tolol, terlebih setelah bertemu dengan orang-orang hebat. Aku sianjrit! Adalah ruang entah apa peruntukannya, yang jelas ada interkomnya. Yang jelas muda. Dungu. Apa lebih baik jip biru dengan gambar elang garuda di atapnya, berbasah-basah ia dalam bak WC yang alangkah gelap dan kunonya. Namun nyaman, senyaman masa kecil itu sendiri. Hanya lebih tua beberapa tahun dari Adjie sekarang. Pemuda Pemalu. Itu aku dulu.

Karamel garam batu adalah tunggalnya kacang Karebia. Aku tidak sembuh-sembuh dari dongkol padanya. Seorang perfeksionis mustahil tinggal diam pada suatu Pagi Sunyi. Ahaha kembali ke musim kemarau pinggiran Tangerang Kota. Ke arah Karawaci sana, sampai hampir Legok, Angris, bahkan Bojong Nangka yang pernah demikian akrab, seperti halnya tas merek Rina Rini. Habis kalian! Tamat! Seperti empat kios sepatu. Terjerat utang, hancur keluarganya, sedangku mengepung martabak telur, dilanjut sate padang, untukku mie aceh tumis udang.

Ini bahkan di mulut saja tertinggal rasa asam, apalagi di lambung. Sudah cukup lama kunikmati berbagai sasetan, jika sekarang sudah tidak bisa, mengapa mengeluh. Kau Membuatku Tersenyum Lagi, kau siapa. Sedang solusi Firdaus Adi Nugroho bagi kemunculan dua kali orang yang sama adalah di APL ada yang kembar, aku gendruwo. Cinta-cinta'an engga 'ah. Jika aku tidak tahu malu, maka kucatat di sini ikan tongkol lumayan gemuk dimasak entah apa, masih daging semur, kentang balado, karedok, dikuahi soto betawi. Enak, dan aku bayar hanya mape'ol. Aqua gelas.

Satu kesamaan bukan alasan untuk menyapa. Semua orang yang seumuran punya nasib masing-masing, tragedi dan komedi semua terbagi rata. 'Kuyakin. Yang lebih muda, bahkan yang masih kanak-kanak semakin tak terjangkau. Aku jangan egois. Membantu orang lain itu lebih baik. Siapa. Siapapun yang terlebih sampai meminta padamu. Aduhai aku jadi teringat mape'ol lagi. Ini apa semua 'sih. Semua juga tahu bahwa seharusnya semua ini apa, sedang partikel "sih" sekadar penegas, begitu kata Nikodemus Yudho Sulistyo. Soledad njot-enjotan, maka sudah tidak.

Lantas mengapa harus disesali jika ternyata cebong. Cebong dan kampret hanya variasi, sekadar konsekuensi ciptaan. Sampai di sini aku merasa seperti kehabisan bahan bakar, yang bagiku tidak ada bedanya apakah bensin atau solar sekali. Aku bahkan enggan mendaku. Kalau mengaku aku masih mau. Mendaku tidak. Ini menjadi semacam dadaisme. Tidak. Menurut Cantik leluconku sarkas, sedang ada orang yang merasa sarkas, aku tidak. Mengenai orang lain saja. Buat apa. Mengapa benar harus tujuh. Entahlah. Penjelasannya selalu saja mengandung aku, enggan aku.

Baik mari dicoba. Sepi bukan hampa. Kesepaan bukan kehampian. Ini hampa bukan sepi, jika demikian maka ngeri. Ada baiknya segera bergegas setelah ini, siapa tahu kehampian pergi. Apa perlu dicatat di sini kebahagiaan mengenai hidup kembali, memang pernah mati. Jangan-jangan segala sesuatu memang selalu hanya seperti ini. Apa yang disangka belum tentu apa yang terjadi. Segala caci tiada lain upaya kerendahdirian untuk bersembunyi. Jadilah Si Murah Hati, berbesar hati. Siapa tahu ganjarannya sepi. Sepi yang terpuji, karena didalamnya ada hati yang suci.

No comments: