Monday, May 27, 2019

Pengalaman Pertama Tarawih di al-Mustaqim


Tadinya aku punya ide entri mengenai pengalaman pertama tarawih di al-Mustaqim. Ilustrasi entri ini pun mengenai hal tersebut. Namun, apakah entri ini mengenai itu benar, tiada jaminan. Betapatah aku masih saja tersepona entah setelah seribu malam, setelah hari itu, sampai aku mengambil alih keterpesonaan Art. Apa betul yang memesona, memukau, sedang hari-hariku kini pun penuh sepona. Aku tidak sepenuhnya suka dengan ini semua. Aku lebih ingin segera menjelang suasana gardu belajar.

Dan berapa kali harus kukatakan aku tidak suka berada di awang-awang. Aku bukan orang yang seperti itu, aku menulis ini seakan-akan ada yang peduli. Pesona itu, pesona-pesona itu mana ada yang peduli. Tidak ada. Rasanya sia-sia. Aku hanya harus maju terus sampai tiba waktunya, semoga pada saat itu aku tersenyum bahagia. Tidak seperti yang dilukiskan Syukran, aku tidak tahu haruskah tertawa atau bergidik kengerian. Di atas segalanya, Aku Bahagia Ada Kamu. Mungkin begitu saja perasaanku sehari-hari. Entah nanti di Amsterdam, tapi itu masih nanti.

Lantas Corcovado. Apa gunanya ini semua bagi korban pelecehan seksual oleh seseorang yang kuistimewakan, meski tampaknya ia tidak mengistimewakanku. Meski Kwarta mengatakan aku terkenal, sehingga tidak mungkin Erikson tidak mengenalku seperti ia tidak mengenal Agus Suryadi. Ah, ini seperti entri yang patut, menyebut nama-nama begitu. Haruskah ada entri tersendiri yang menandai berakhirnya Mei, atau cukup ini. Sepertinya harus, maka ini harus diretroaksi, apalah itu kebalikan darinya kemarin. Lupa. Memang sudah berlalu dariku, kini seorang tua.


Baiklah ini entri mengenai pengalamanku tarawih kali pertama di Mesjid al-Mustaqim, Kompleks Kodamar Kelapa Gading. Ya, semata-mata pencitraan, tidak lebih. Hatiku secara keseluruhan nyaman meski perutku kembung hebat, entah mengapa. Aku sepanjang hari itu mengenakan Kenrical, namun beberapa saat sebelum Isya' kulepas karena basah kuyup. Apa harus dicatat bahwa tiga bohong besar dan dua burger keju paketan tidak dilengkapi dengan saus sambal. Apa harus dicatat pula mengenai adanya sebotol saus sambal yang tidak sebotol lagi. Tentu tidak perlu.

Dan ternyata memang tidak sanggup. Hampir saja aku menulis suatu onomatop di sini, yang segera kuurungkan semata karena aku malas memiring-miringkan tulisan. Nah, ini dia sampailah pada Beberapa Malam yang Memesona. Mau sampai kapan, ini sudah seribu malam. Di sini jauh lebih baik, karena di lain-lain tempat aku selalu terdorong untuk pura-pura waras. Di sini aku bisa semauku. Mengapa orang ingin semaunya. Ingin jadi diri sendiri, ingin bebas. Jelasnya, tidak ada, atau tidak banyak, yang menyukai paradoks-paradoks kecil olahanku.


Nah, ini aku akan menghidangkannya pada Pak Joni Supriyanto. Aku siapa. Sukarno. Hatta. Supomo. Sudah gila apa. Aku adalah Papi yang menjanjikan perayaan pada anak perempuan... siapa. Ironis. Tragis. Aku didoakan oleh bapakku untuk jadi... apa. Itu Mungkin Terjadi Padamu. Oh ya. Apakah "oh ya" begini harus dikursif. Persekusi. Dan entri mengenai pengalaman pertama tarawih di al-Mustaqim ini hancur leburlah. Berbulan-bulan aku buntu begini, untuk akhirnya pada suatu waktu nanti tiba-tiba buyar seperti bendungan pecah. Kata profesor siapa begitu juga.

Hidup Memang Sekadar Mimpi. Nanti ada waktunya kita bangun, dan itu pasti. Aku mengetiki sambil telanjang dada begini. Datanglah kemari pada tanganku yang membentang, mengapa kebatan dan kebitan itu terus saja datang, karena jasadku masih berfungsi. Dan aku bahkan tidak berusaha mengingat-ingat penjelasan Ustadz Abdul Somad mengenainya. Apakah benar, seperti kata Ustadz Gunarsa, aku juga ustadz seperti dia. Aduhai "mabuk ayat," jahat benar kata-kata ini. Biarlah. Aku bahkan tidak ingin tahu apa jadinya, apalagi sampai melaknat. Aku sendiri durjana.

Jika Aku Mencintaimu

No comments: