Friday, July 26, 2019

Untuk Sebuah Togar. Sepucuk Surat Ini


'Gar,

Karena ini sebuah surat, aku harus berusaha membuatnya koheren. Meski kuat sekali dorongan untuk mengomentari kata pembuka surat ini, aku harus menahannya. Demikian pula kenyataan bahwa aku baru minum fanta stroberi campur seprit tapi ada nata de kokok sama telor kodoknya, bagaimana aku bisa tahan menghadapi segala inkoherensi ini. Sedang aku sendiri harus koheren, aduhai! Ini adalah sebuah surat untukmu. Meski kuat sekali dorongan untuk menjelaskan kau itu apa, aku harus menahannya. Ini adalah sebuah surat, dan surat harus koheren.


Meski kuat sekali dorongan untuk memastikan estetika, apa itu berarti aku peduli kosmetika, terlebih komika. Tentu tidak. Langsung saja. Apa kau sudah gila membiarkan Nesya melahirkan anakmu. Aduhai ingin sekali aku menambahkan tanda-tanda baca sekadar penegas, namun kau tahu 'kan sikapku pada tanda baca. Mereka mengganggu estetika! Atau logika. Atau kesehatan jiwa. Lalu kau membiarkannya tinggal di rumah membesarkan anakmu, untukmu. Dan jika ia suatu hari nanti ingin meninggalkanmu, kau katakan padanya, tinggalkan anakku padaku.

Hahaha... kau bisa menukas aku lupa minum obat. Aku tidak pernah minum obat. Parasetamol pun tak. Namun aku memang menggugatmu. Kau apakan anak perempuan... aduh, siapa pula nama Bapak Nesya itu, yang pernah kau sebutkan. Kau suruh ia melahirkan, merawat dan membesarkan anakmu. Apa ia mau. Nah, kini mengenai anak-anak perempuan, tentu saja terlahir dengan naluri merawat dan membesarkan anak. Jangankan manusia. Simpanse pun, ketika kepadanya diberikan anak kucing, didekap dan didekatkan pada dadanya, seakan menyusuinya.

Tiba-tiba saja aku kehilangan selera menggugatmu. Aku sudah tidak peduli, sebagaimana aku tidak pernah peduli apapun, mengapa manusia, sebagaimana seluruh alam ciptaan yang senantiasa genap, berkembang-biak. Biarlah mereka mau apa saja. Titit sendiri saja sudah cukup menyusahkan, mengapa harus memusingkan titit-titit yang lain. Kau pasti tahu ini tidak semata mengenaimu, karena aku memang tidak pernah memberikan kehormatan semacam itu pada siapapun. Aku menekuri seluruh alam ciptaan, dan penghormatanku hanya pada Sang Pencipta.

Tahukah kau, 'Gar, aku menulis surat ini seraya mendengarkan lagu-lagu dari masa kutika testosteronku masih baru diproduksi, masih segar-segarnya, kental-kentalnya. Mungkin karena itu aku jadi goblok. Namun, seperti diingatkan Hari pagi ini, aku memang pongah karena belagak bego. "Gua ga pernah belagak bego. Gua emang bego." Begitu kata Hari. Ini lagi! Mengapa kau biarkan Dita melahirkan anakmu! Kalau Kusmasai tidak usah dibahas lagi. Kalian semua membuatku berduka. Buat apa kalian berkembang-biak. Biar apa. Ini berlaku juga untuk Sandoro. Kau dengar?!

Lalu apa, aku harus berharap pada Ega atau Liked begitu. Tidak. Sebenarnya aku meratapi kegagalanku sendiri. Aku gagal mencegah diriku sendiri berkembang-biak. Terlebih horor, aku gagal mencegah diriku sombong. Kalian mendomestikasi perempuan-perempuan. Anak-anak kalian pun perempuan! Relakah, ya, ikhlaskah kalian anak-anak kalian didomestikasi oleh titit-titit macam kalian! Ini sudah memalukan. Seharusnya kita keluar sana memapas leher-leher celaka tempat bertengger kepala-kepala durjana. Namun disini aku mencaci-maki titit.

Sekejap tadi aku hampir bercerita padamu mengenai Fawaz yang mungkin berbakat menulis. Ia menulis mengenai Dery Tadarus si Tupai yang menemukan seekor landak beku lantas mencairkannya. Dery menghadapi dilema, haruskah ia mencairkan dan membiarkan landak itu hidup, atau membiarkannya beku dan menyerahkannya ke museum untuk meningkatkan nilai sejarah. Betapa surealis! Betapa impresionis! Ia belum lagi pernah membaca Kemacangondrongan sudah begitu. Semoga titit Fawaz dijauhkan dari kemesuman yang pernah melumuri titit-titit kalian.

Bono

NB. Fawaz pun bukan anak biologisku. Aku pernah dimarahi Prof. Anna Erliyana karena mengatakan "anak kandung." "Kandung?!" kata Prof. Anna, "emang kamu pernah mengandung?!"

No comments: