Sunday, May 05, 2019

Entri Kedelapan yang Ditulis di Bagasnami


Seperti sudah menjadi tradisi, (halahmadrid!) tiap kali kunjungan ke Bagasnami pasti ada entri mengenainya. Mengapa demikian, aku juga sudah tidak ingat. Apakah semata karena agar ada entri berseri, atau setidaknya adalah, di antara entri entah-entah, entri yang koheren. Nyatanya tidak juga, kurasa beberapa entri terakhir mengenai Bagasnami sudah mulai tidak koheren. Aku bahkah tidak ada dorongan untuk memeriksa kapan terakhir ia koheren. Ini mengerikan. Apa bisa orang yang tidak peduli rincian sepertiku menjadi seorang etnografer.


Tuh, lihat. Belum-belum saja sudah tidak koheren begini. Hanya saja harus dicatat, kali ini berkunjung ke Bagasnami tepat pada hari terakhir Sya’ban 1440 H. Berarti nanti malam sudah tarawih. Yang jelas kami belanja bulanan, Afi, Oma Lien, Tante Anthi dan Oom Bono. Kami pergi naik Gokar ke Transmart. Begitu sampai langsung cari makan, pilihannya sop ikan atau burger. Adalah Oma Lien yang tanpa ragu memilih burger. Hari terakhir Sya’ban 1440 H ini, Transmart lumayan ramai.

Demikianlah kami berempat memakan Whopper. Hanya saja, jika Afi, Oma Lien dan Tante Anthi makan Whopper biasa yang paketan, aku memesan Whopperdamaian, yang dalam penampil pesanan ditulis “Damn.” Oom Bono pesan Damn yang ukuran besar, jadi seperti buto ijo begitu, karena memang rotinya diberi pewarna hijau. Aku tidak tahu apakah rotinya juga pedas, yang jelas di dalamnya diberi saus keju jalapeño begitu, jadi agak pedas. Selebihnya tidak seberapa berkesan, atau memang sekarang makanan apapun begitu.

Mungkin tidak juga, buktinya dari sebelum berangkat ke Amsterdam sampai sepulangnya untuk penelitian lapangan ini, aku tidak bisa benar-benar melupakan Stipwong. Apanya sih yang istimewa, entahlah. Yang jelas dalam beberapa bulan terakhir ini aku beberapa kali ke sana. Makanan memang menjadi satu-satunya kesenanganku sekarang. Itupun sudah tiada seberapa. Kurasa waktuku angah-angah makan memang sudah berlalu. Sekarang aku benar-benar sulit mengingat betapa Beef Poverty-nya McD pernah begitu berkesan untukku, sampai kutunggu-tunggu kehadirannya kembali sekitar Lebaran Imlek.

Sementara Oma Lien, Tante Anthi dan Afi berbelanja bulanan, aku menunggu di café terbuka di bawah estanatong, yang aku lupa apa namanya. Tadinya aku memesan chai latte, ternyata habis. Ya sudahlah, cokelat panas saja, yang ternyata sangat bersahaja untuk harga limapuluh ribu Rupiah. Yang penting aku bisa duduk pas di pinggir pantrinya sambil mengetik sesuatu yang [seharusnya] berguna. Bukan entri, yang jelas. Ketika itu, gagasan-gagasan mengalir begitu saja, seperti sekarang ini, meski tidak yakin benar-salahnya.

Demikianlah, selesai belanja bulanan kami pulang ke Bagasnami naik Gokar lagi. Sesampainya di sana aku kembali mengetik, bahkan sampai waktu maghrib lewat. Aku bahkan masih sempat melompat dari duduk bersilaku untuk memanggil mie dok-dok Surabaya. Beli tiga porsi, ternyata Mama juga ikut dahar. Ketika sedang dimasak pesananku itulah hujan mulai turun, makin lama makin deras. Selesai shalat maghrib yang dijama’ qashar dengan isya’, memesan Gokar hanya untuk mendapati tarifnya naik dua kali lipat dari biasanya!

Aku dan Cantik bergolek-golek di bekas kamar Papa yang ber-ac, aduhai sejuknya. Oma Lien dan Afi pergi menembus hujan untuk bertarawih perdana di Ramadhan 1440 H ini. Ihza konon mengeram saja di kamarnya. Sampai setengah sembilan baru harga berangsur normal, itu pun Grab. Berangkatlah kami pulang. Syukurlah kami mendapati Pak Sopir seorang pendiam, jadi sepanjang perjalanan aku dan Cantik saja yang berbincang-bincang. Pak Sopir tidak meningkahi sepatah kata pun. Demikianlah kunjungan kali ini ke Bagasnami.

No comments: