Saturday, July 06, 2019

Nasi Kongtol! Ini Semacam Penolol yang Menolol


Sanggupkah aku tanpa menyumpal kuping. Pengeras suara sudah memperdengarkan suara-suara yang seharusnya akrab dan kondusif, namun selebihnya adalah geremang dan hiruk-pikuk pasar. Aduhai perut engkau begini amat. Betapa sulit melaksanakan apa yang diwejangkan oleh khatib Jumat kemarin. Terlepas dari apapun ini sudah jam empatbelas dan Cantik sedang sopang-soping, dan mataku sempat terpejam. Sudah dapat diduga bahwa hasilnya akan sebuah entri, jikapun berhasil, karena rasa ini sudah cukup lama. Ada 'lah beberapa hari.


Rasa seperti ini sudah masuk Juli. Apa tidak malu memulai hari bersama Santo Fransiskus dari Asisi, sedang menikmati pemandangan begini. Tidak sampai menikmati, karena memang selalu ada dalam benak. Sebenarnya tadi yang terlintas adalah "di hati." Aduhsay mengerikan betul. Tentu saja mengerikan seperti perutmu. Bagaimana mau menghentikan jika baru saja kaujejalkan donat berlapis gula. "Gula 'kan makanan [sel] kanker," demikian tukas Mbak Yuli FHUI '87, maka sepiring penuh kulit berlemak ayam goreng?! Apa yang terasakan ini. Oh.

"Hei, Dayang, apakah kau mau kunikmati madumu," atau semacam itu. Di kamar berhantu yang bisa besar hantunya, dengan irama bossas begini. Masih sama saja dengan waktu itu, sekira 30 tahun yang lalu. Apakah itu konser Rainbow, entah VHS atau Betamax itu. Sedang tepat di setentangku pasti orang baik dia, apalagi kalau sampai sekadar bawa motor. Aku tidak lihat tanda-tanda kunci mobil. Sedang menyisir rambutnya yang lembab itu, terjatuh jepit rambutnya itu. Tidak akan ada selesainya dunia ini, begitu saja terus. Sungguh enggan membicarakannya.

Tidak, untukku sudah cukup. Betapa nikmatnya berdua-duaan dengan Quran. Qurannya sendiri mudah, istiqomahnya itu yang sulit. Jika tidak sanggup satu halaman setiap habis shalat fardhu maka setidaknya setiap hari. Entah hitungan mana yang menghasilkan khatam dalam empat tahun, lengkap dengan arti dan tafsirnya lagi. Hei, ini apa nasihat mulia begini kaurekam dalam comberan! Sungguh baik, sungguh sangat baik. Dapat kulihat, kau dan aku akan menjadi sangat baik. Tak satu saksofon pun 'kan membahagiakanku, karena aku tidak bugar seperti Kolonel Sigit.

Selain itu, mereka berdua anak yang baik. Semoga mereka bersikap baik juga kepada kedua orangtua mereka, dan kepada siapapun orang tua, bahkan yang gendut, botak dan mesum seperti aku ini. Aku tidak yakin dapat menyelesaikannya tanpa harus terbirit-birit. Boro-boro sehalaman. Perut ini dahulu dibereskan. Ini sudah sangat mengganggu. Bagaimana caranya. Ya Allah, hamba mohon pertolongan. Benarkah hamba masih mengandalkan bahkan diri sendiri. Di comberan sekalipun, dalam kubangan dosa ini hamba memohon hanya kepadaMu, kepada siapa lagi?

***
Masih saja adalah kata-kata yang begitu saja terlintas, meski Matt seakan mengeluh, seandainya aku tidak akan lagi menyanyikan lagu lainnya, dan ber-lalala. Ini menarik, tanpa sengaja dimulai dari Skylark yang sangat sulit untuk diikuti. Musim semi sekarang, di sini? Tidak, ini sudah musim panas, dan aku tidak peduli musim yang empat itu. Tidak ada yang benar-benar menarik dari mereka, atau apapun bagi laki-laki umur awal empatpuluhan ini, terlebih ketika mengantar bapaknya kateterisasi jantung, meski tidak jadi. Kuakhiri di situ kalimatnya, agar tidak berlari.

Tinggal lagi duit yang masih menarik, sambil menunggu menyidang skripsi. Apakah kelak menjadi tesis atau disertasi sekali, tidak banyak berbeda. [Duit, duit, duit] Duit bukan sembarang duit. 'Tuh 'kan, aku tidak bohong. Memang ada lagu semacam itu, ya, tidak perlu merasa jijik juga. Hanya memang lucu-lucuan belaka bagi seorang pangeran yang sudah tidak punya keraton. Yang hanya bisa menunggu datangnya Pak Patrick Fatruan, tanpa daya, di Pintu Keluar RSPAD. Yang memang hanya satu itu, bukan tiga. Daripada berlari, baik "yang" memulai kalimat tak apa.

No comments: