Sunday, May 19, 2019

Suatu Hari Waisak Tepat di Tengah Ramadhan


Ini perasaan yang aneh sekali. Di hari keempat belas Ramadhan 1440 H ini, aku terbangun jam setengah sepuluh setelah tidur lagi sehabis shubuh. Udara aduhai panasnya, tigapuluh satu derajat celsius dan berkabut panas. Mungkin karena ini semua aku merasa ingin dibelai-belai. Tidak bisa lain aku mengucap Salam Instrumental pada diriku sendiri. Beginilah maka dengan Tarian Terakhir aku membelai-belai diri sendiri. Kadang aku membatin, tarian macam apa Tarian Terakhir ini, dengan ritme dan melodi seperti ini.


Tanpa disengaja memang pas tujuh lima. Namun, sebelum memulai menulis, aku sempat terpikir, tidakkah paragraf seharusnya berhenti ketika satu pokok pikiran habis. Jika begini terus cara menulisku, aku tidak akan pernah menjadi penulis yang baik. Memang siapa yang menyuruhmu menjadi penulis. Dengan segala perkembangan belakangan ini, aku semakin tidak tertarik pada apapun. Mungkin tinggal dinar dan dirham, agar aku dapat membelanjakannya tanpa khawatir. Aduhai ini Matahari Terbenam Karibia memang... membuai. Buaian seperti apa, akan tetapi.

Apakah Hadi dan Mang Imas, lalu beberapa karung semen dan David Hastiadi dalam suatu pesta, sepertinya perkawinan, yang mewah. Sungguh aneh sekali. Kurasa ini gara-gara tidur dalam suhu tinggi. Lantas roti-roti berisi es krim yang cantik itu, seperti neapolitan begitu, apa karena aku sedang berpuasa. Lumayan sih idenya, daripada es krim korma. Saking terbatasnya imajinasi, beberapa hari ke depan ini menuku adalah gudeg-gudegan, sambel goreng-sambel gorengan krecek, masih ditambah pare berteri dan sedikit udang bersambal.

Semua tidak menjadi masalah. Dengan segala perkembangan termutakhir, jangan-jangan ini caraku meninggalkan kenikmatan rendah. Eits, nanti dulu. Bagaimana dengan Salam Instrumental ini. Ini kurasa masih nikmat, meski aku sudah tidak berusaha menambahnya. Itulah mengapa orang-orang tua suka mengulang-ulang, karena mereka sudah tidak bertambah. Mereka hanya tinggal menunggu, dan itu manis. Apakah masih ada kasih-sayang dan kelembutan cuaca dan iklim bagi mereka. Apakah masih ada sore-sore hari yang nyaman, mengalun, membuai seperti khayalanku mengenai masa kecil.

Ini belum sore, jelasnya. Dan sore ini bisa jadi aku tidak perlu melihat jalan sama sekali mengingat tumpukan persediaanku. Tidak tahu jika Cantik punya ide-ide nanti. Aku bahkan tidak bisa menamatkan semangkuk es teler Snar Guitar. Terlalu berat untukku, apalagi sop duren. Sedang semua grup WA sama saja rasanya, Senin ini aku harus memenuhi janji. Semoga cuaca Senin bersahabat, karena ada kemungkinannya aku harus berbuka di luar. Uah, jelas bukan begitu puasa yang ideal bagiku.

Lantas bagaimana. Apakah puasa dari masa-masa yang lebih muda. Aku bahkan tidak berdaya, tidak ada dorongan untuk mengingatnya, apalagi melukiskannya. Coba saja lihat entri-entriku dari 2007, itu ada mengenai puasa. Namun, tanpa mengingatnya, yang terbayang justru Sopuyan. Mungkin juga Bangded yang kehilangan cinta hahaha. Ya, itu kenangan favorit. Salah satunya. Aku masih ingat rasa badan menunggu buka sambil mendengar-dengarkan Mocca. Itu kali pertama aku berkenalan dengan Kamu, dan aku bahkan saat itu tidak sedang bercinta.

Uah, lancar benar, kecuali selingan memasang saringan keran. Itulah kenyataan hidup, dan aku suka. Sungguh tak terbayang olehku mereka yang masih peduli masa depan, padahal sudah sebayaku. Mereka yang masa kecilnya ditingkahi majalah Bobo. Ahaha, satu lagi kata yang akan sirna ditelan jaman. Majalah. Kemana perginya majalah-majalah masak-memasak, dengan segala fotografi, disain dan tata-letaknya. Itu baru cara ideal merintang waktu menunggu buka, dari masa kanak-kanak. Nah, sampailah aku pada Tarian Terlarang ini, setelah sekian lama...

No comments: