Monday, August 26, 2019

Yang Gansteng-gansteng 'Aja Sekarang Jadi Deakon



Berpikir dan merasa

Itu, lihat. Gelas plastik hijau itu, ya, dalam gambar itu, berisi air hampir mendidih. Suhunya tidak mungkin lebih rendah dari delapan puluh derajat selsius. Sebelumnya ia berisi serbat wangi. Sempat kuendus, namun tidak tercium wanginya. ‘Lik Gloria menghitung satu, dua, tiga, meningkahi kesadaranku yang mulai tersaput kabut. Kukatakan pada diri sendiri, mulai saat ini, beginilah caranya.

Jika menulis entri, kalimat-kalimatku cenderung pendek-pendek begini. Jika menulis lainnya, kalimatku seperti banjir bandang. Melukiskan perasaan dan menuangkan buah pikiran memang dua pekerjaan berbeda terhadap dua objek yang bertolak-belakang. Hasilnya tentu saja jauh berbeda. Melepaskan Kemacangondrongan? Jih, tidak sudi! Betul aku punya blog lain di Kompasiana. Betul sudah lima tahun ini ia terbengkalai.

Namun, meninggalkan Kemacangondrongan, kurasa aku tak sanggup. Jika fakultas batin manusia terdiri dari dua bagian, yakni pikiran dan perasaan, maka yang terakhir padaku jauh lebih besar. Aku bahkan sampai kadar tertentu tidak suka berpikir. Apa aku suka merasa, tidak juga. Jika boleh aku enggan mengerahkan tenaga batin, seperti aku enggan mengerahkan apapun. Aku memang pemalas.

Melatih di sini untuk di sana

Baru sampai sini saja sudah terasa betapa gaya ini tidak sesuai untuk kepentingan mengumbarasa. Gaya tujuh lima sampai lima dua lima sudah terbukti manjur, meski terkadang, atau lebih seringnya, kaidah-kaidah estetika terlanggar, kaidah mana adalah pembenaran-paksa. Aku begini karena Asus X450C dibawa Plasenta. Jika tidak aku mungkin menghancurkan peradaban-peradaban sampai mengantuk.

Menulis untuk disertasi berbeda lagi gayanya. Seakan-akan apa yang kulakukan dan kukatakan ini benar, padahal semua ini olok-olok belaka. Apapun bagiku tidak lain sekadar olok-olok. Ya, aku ngeri ‘sih mengolok-olok disertasiku. Disertasi adalah sesuatu yang sangat serius, atau lebih tepatnya, kurasa Gerben dan Laurens, orang-orang baik itu, menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak main-main.

Seperti Brian Burgoon. Jika aku tidak mengurusnya dengan benar, jangan-jangan di belakang hari nanti aku menemui berbagai kesulitan. Amit-amit jabang beibeh. Diuruslah. Memang ini semua olok-olok, tapi sekali dua kali seriuslah. Rata-rata orang menjalani hidupnya dengan sangat serius sekali, seakan-akan hidup mereka sungguh berarti. Akan halnya kau tidak sanggup begitu, tidak berarti orang lain sama sepertimu.

Tujuh di antaranya menjadi singgel

Ini seakan-akan benar, meski nanti sebelum tayang sudah pasti akan kuperiksa estetikanya dan kupaksakan pembenarannya. Uah, rasanya jadi seperti siang hari di ruang tamu yang lapang lagi permai, sedang dari balik tembok belakang rumah terdengar seseorang minta dibangunkan sebelum dirinya pergi. Aduhai hidup betapa singkatnya, mengapa kalian masih begitu serius menjalaninya. Untuk apa.

Dalam kenyataannya nanti belum tentu aku berhasil melakukannya. Apalagi dalam keadaan seperti ini sudah pasti aku tidak sanggup. Tidur selalu lewat tengah malam, itu pun tidak pernah nyenyak sampai pagi, bangun ketika akibat-akibat kerembetan sedang geradak-geruduk, sok peduli menyiapkan sarapan mereka padahal membeli sarapan untuk diri sendiri, ternyata aku tidak tahan hidup begini. Ini jelas tidak sehat.

Apalagi ini. Benci segala sesuatu tentangmu. Tidak lucu. Empat kakek punk terlebih lagi jelas-jelas tidak lucu. Lantas aku yang bermalas-malasan begini seumur hidupku apa lebih lucu. Ya tidak juga. Sepanjang Radio Dalam ke arah selatan, mentok belok kanan sampai pim. Semua yang tersisa adalah kehancuran. Kehancuran entah apa. Kehancuran keluguan, ketidakberdosaan. Aduh, picisan sekali. Biarlah mengantuk ini.

No comments: