Sunday, January 05, 2014

Togar Tandjung. Suatu Analisis Psikotelematika.


Togar Tandjung adalah nama seorang kawanku. Jika saja aku tidak menenggak Antangin tablet sekaligus empat baru saja ini, mungkin tidak akan pernah aku terpikir untuk menulis suatu analisis mengenainya. Togar Tandjung adalah nama seorang kawanku yang masih muda. Muda, karena jaman Because I Love You-nya Shakin' Stevens ngetop aja dia belum lahir. Pun demikian, ia tahu Sam Cooke! Ya, tidak mungkin seseorang semuda itu mengenal Sam Cooke jika tidak punya profil psikotelematika seperti beliau ini. Sungguh suatu spesimen yang unik! Suatu artefak! ...dan Togar Tandjung adalah nama yang keren. Jika saja pagi ini begitu terbangun aku tidak langsung menyapa anak tiriku yang laki-laki sedang menonton kartun, mungkin aku tidak akan pernah peduli pada profil psikotelematika siapapun. Seperti sudah menjadi mafhum, psikotelematika adalah suatu pseudo-sains yang terlahir dari konvergensi psikoanalisis dan teknologi informasi dan komunikasi ...dan Togar Tandjung--bersamaku sendiri, tentunya [ehm..ehm... sambil tersipu-sipu kemaluannya] adalah salah satu pelopornya. Jika kami adalah pelopor, maka Gegana-nya, Densus 88-nya adalah Yang Sangat Terpelajar Kangmas Dr. (Honoris Casusa) Toni Edi Suryanto, SH., LL.M, ACCS. Memang pernah terjadi pencemaran pada disiplin semi-ilmiah kami, ketika orang menyebar desas-desus bahwa Vicky Prasetyo adalah JUGA salah satu murid Mas Toni. (mengenai ini sudah saya konperensikan secara pressed bantahannya di Pesbuuk)

Dalam disiplin semi-ilmiah psikotelematika ini ada juga aliran-aliran. Togar Tandjung mendirikan Aliran Wina-Perancis yang sangat kesohor di seantero benaknya sendiri dan juga di seputaran balada layangan putus. Aku sendiri, Bono Priambodo, hanya berkutat pada ...bukan aliran, sekadar Tetesan Jawa-Jerman yang pengikutnya cuma aku sendiri, dan itu pun masih di bawah asuhan Ki Macan Gondrong. Aliran Wina-Perancis asuhan Togar Tandjung ini memang tersendiri, tidak bisa disamakan dengan sekadar Sartre apalagi si Maho Foucault; meski ciri-ciri ke-Perancis-annya masih dengan mudah tercecap. Sedangkan Wina--kita sudah tahu--adalah sarangnya orang-orang yang menentukan baku kewarasan sendiri, seakan-akan kewarasan adalah semacam ambien. Di sinilah kedua aliran kami bercabang menempuh jalan sendiri-sendiri, karena kami dari Jawa-Jerman ini sampai hari ini masih bersikukuh bahwa kewarasan itu adalah emisi, jelaga proses berpikir; seperti pernah dikatakan oleh filsuf paling fenomenal dari abad lampau, Rocco Sifredi, Coitus Ergo Sum! Itulah sebabnya pengikut Tetesan Jawa-Jerman, sampai hari ini, tidak bisa menyimpang dari kekentuan, padahal uang-nya dan cher. Sementara itu, pengikut-pengikut Togar Tandjung, mungkin karena kemudaan perkakasnya, uang-nya masih kental menyembur-nyembur. Bagaimana? Jadi sudah terang 'kan perbedaan antara Aliran dan Tetesan? Antara dan cher dan kental menyembur-nyembur. Persamaannya? Masa kalian tidak perhatikan... ya itu. Sendiri alias swalayan.

Namun, memang harus diakui, disiplin semi-ilmiah psikotelematika pernah mengalami masa-masa gelapnya, yaitu ketika para penggiatnya dikejar-kejar oleh Garis Mati dan diharu-biru cinta dan Cinta. Bagi kebanyakan orang, berhadapan dengan Garis Mati sekadar masalah dapat uang atau tidak. Bagi penggiat psikotelematika, Garis Mati seringkali berpengaruh pada hidup dan mati itu sendiri, meski kami semua terbiasa berlatih--untuk mengasah intelektualitas--bermain trampolin di atas seutas tali kolor. Togar Tandjung adalah seorang pahlawan, seorang jagoan dalam masalah berhadapan dengan Garis Mati ini. Memang, berhadapan dengan Garis Mati, seorang Psikotelematik sejati seperti beliau biasanya menunjukkan kekenduran syaraf yang sangat mengagumkan. Kami bukan orang-orang yang mundur jika berhadapan dengan kematian, meski kami juga tidak mencari-carinya. Akan tetapi, masalahnya lain dengan cinta dan Cinta. Meski semua psikotelematik menunjukkan afinitas yang tinggi pada baik cinta, Cinta, maupun keduanya, Togar Tandjung adalah seorang pecinta yang intens. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang sudah kesohor di benaknya sendiri. Cinta yang kerap dan tegang, kelihatannya, adalah kesukaannya. Ia seorang pahlawan menghadapi Garis Mati, namun di hadapan cinta, ia bagaikan seorang anak yang dengan rakusnya melahap semua yang mampu dikhayalkan R.L. Stine. Jika sudah demikian, aku hanya dapat membayangkan; seorang anak laki-laki berambut keset welkom, sendirian di kamarnya merinding-rinding kengerian. Akankah ia menghambur ke pelukan ibunya, seperti yang selalu dilakukan anak tiriku?

No comments: