Friday, January 10, 2014

Taman Bermain Michael dan Cindy dalam Benakku


Hari ini Jumat dan tidak ada apa-apa yang terjadi. Hahaha... ini mengingatkanku pada tugas membuat buku harian dalam bahasa Inggris ketika di SMA dulu. Dari situ saja seharusnya aku sudah tahu di mana pesyen-ku. Aku semangat betul disuruh tulis-tulis begitu. Pake akal-akalan masuk Akabri segala lagi, ya metu maning hehehe. Seperti apa sih tampaknya cinta? Apa kuyu begitu menahan birahi? Apa mata menjadi sayu? Bagaimana kalau yang punya wajah si buruk rupa? Bagaimana pun kalau yang melihat juga buruk rupa? Banyak pertanyaan begini memang menyebalkan. Macam penting saja yang ditanya-tanyakan itu. Seperti bocah menulis skripsi, dan ibu-ibu dan bapak-bapak menulis tesis [eh, teringatnya, hari ini kali pertama aku menguji tesis, loh. Keren-kerenan tidak banyak berarti bagiku, yang penting duitnya banyak. Emang iya?] Sesungguhnya aku ini lah yang macam betol mengkritisi cara orang menyusun pertanyaan penelitian. Penelitian? Macam aku teliti saja. Eh, aku teliti loh. Aku memang cenderung mengabaikan detil... orang lain, tetapi detilku sendiri kuperhatikan sangat. Mengenai rincian tampaknya cinta olehku... hmm... cinta itu sekantung permen bagi bocah laki-laki. Bagi anak perempuan, cinta adalah menikah dan mempunyai bayi satu atau dua, mengajak mereka mengunjungi kakek nenek.


Dengan cinta, aku bisa tidak peduli mau Denny JA mengaku tokoh sastra berpengaruh di dunia, mau Anas digantung di monas atau pohon toge, mau apa saja aku bisa tidak peduli. Hanya cinta yang bisa membuatku begitu; tepatnya, hanya cinta yang kuijinkan membuatku begitu. Terlebih bila disentuh di pagi hari oleh cinta belia, yang masih penuh khayal dan mimpi. Aku ingin bisa berkhayal. Aku ingin bisa bermimpi. Aku menginginkan cinta belia, cinta yang segera terasa ketulusan dan kesejatiannya hanya dengan dibisikkan. Seperti seorang kekasih membisikkan kata mesra di telinga kekasihnya. Sampai-sampai bibirnya, hembusan napasnya, tak berjarak dengan daun telinga. Sampai-sampai sang kekasih menggeliat-geliat kegelian, kebasahan. Seperti itulah cinta belia. Sampai-sampai harus memakai penggaris celana dalam. Kalau sudah begitu, mau Denny JA menulis puisi, menulis esai atau menulis puisi esai sekalipun, aku tak peduli. Mau Anas makan ketoprak yang banyak monasnya sedang tidak pakai toge, aku tak peduli. Hei, jangan kau salah terima. Cinta belia tidak berarti cinta di antara anak-anak ingusan. Acapkali, yang mengerti cinta belia adalah para kakek-nenek, yang tidak pernah tahu rasanya pacaran karena sejak kecil dijodohkan. Cinta mereka belia bagaikan embun dan kuntum bunga melati. Ketika yang satu mati dibakar perkasanya matahari, yang lainnya pun tidak ingin hidup lebih lama dan luruh layu; begitu terus setiap harinya diulang dan diulangi lagi.

Itulah sebabnya aku tidak menemukan cinta belia ketika SMA. Aku tidak bisa berkhayal. Aku tidak bisa bermimpi. Khayalku adalah kenyataan. Impianku adalah kenyataan. Tidak ada bedanya bagiku. Dunia ini terlalu nyata bagiku untuk dikhayalkan dan dimpikan. Untuk apa lagi aku berkhayal, semua sudah terpampang gamblang di hadapanku? Ketika aku mendengarkan lagu-lagu kesukaan Ibuku waktu muda, aku berada dalam duniaku. Dunia yang terlalu rumit bagi cinta belia. Dunia renung-merenung. Dunia bertanya-tanya, di mana olimpiade hanya memainkan satu nomor, yaitu olahraga bertanya-tanya; dan selalu aku yang menjadi juaranya, karena hanya aku pula yang bertanding dalam nomor itu, yang cuma satu itu. Pemedali emasnya? Tentu saja aku. Kharisma? Ahaha suatu kata yang tidak kuperlukan dalam duniaku. Akulah penggemar berat diriku sendiri. Hukuman? Tidak perlu juga. Aku menghukum diriku lebih keras dari siapapun. Jika hukuman saja tidak perlu buat apa lagi ganjaran. Tongkat dan wortel? Hanya cocok untuk keledai dan sejenisnya. Ganteng? .... Pintar? Hmm... Semua tidak ada gunanya dalam duniaku. Dunia taman bermain di mana Michael dan Cindy keduanya sekaligus adalah aku sendiri! Perempuan? Aku laki-laki. Laki-laki? Kata seorang lesbi, hatiku feminin. Kata adikku, tampangku saja yang sangar, hatiku mah cemen. Itulah sebabnya aku tidak pernah merasakan cinta belia ketika SMA. Itulah sebabnya aku masuk Akabri lalu keluar lagi.

No comments: