Tuesday, January 07, 2014

Erotisme Pantat yang Tersinggung: Beruluk Salam


Apa sebuah kegaduhan atau komosyen! Namun, kini, setengah enam sore menjelang Maghrib masih di hari-hari terakhir pojokan lantai dua Dekanat FHUI Depok, semua telah sepi. Begitu saja George Baker berharap aku dapat mengerti pada volume duapuluh lima persen. Huh, ta'u'uk! Sedangkan engkau telah menyinggung pantat yang lupa beruluk salam, atau sengaja TIDAK beruluk salam. Kau belum tau kekentuan baru-baru ini, di kampung sini, heh?! Kalau kentut harus terlebih dahulu beruluk salam! Akan tetapi, pantat yang satu ini, yang tidak pernah menyimpang dari kekentuan ini, memang sangat intensip. Ia tersinggung sampai berkedut-kedut! Ya, mungkin pantat satu ini memang telah banyak menelan kegetiran hidup, atau memang sudah dari sananya sesat, maka dia justru menikmati ketidaksempurnaan. Lalu ia berfilsafat, justru dalam ketidaksempurnaan itu terdapat kesempurnaan, seperti kera berharap jadi manusia, pungguk merindukan bulan, dan katak hendak jadi sapi. (sic) [Apanya yang tidak sempurna? Semua ada, lengkap, tepat di tempatnya!] Pret dengan semua filsafat itu, 'Tat! Namun hahaha memang lucu caranya tersinggung, berkedut-kedut begitu. Jika diteruskan, jangan-jangan malah berkejat-kejat, lalu berkerjap-kerjap, seperti orang sakit flu mengenakan bulu mata palsu; padahal naik KRL, padahal meikapnya sudah meleleh dipapar panas-lembabnya Jakarta-Depok.

Garden Hall Theatre pada masa jayanya (sumber)
Sekarang tentang aku. Aku harus cari uang. Mengapa aku banyak mulut? Lebih buruk mana dari besar mulut, atau lebih beruk mana? Aku tetap harus cari uang. Banyak. Bukan, ini bukan tanda-tanda kegagalan susunan syaraf pusat apalagi tepi. Ini akibat terlalu banyak menonton filem di Cinema Paramixo. Di bioskop ini, akhir-akhir ini, banyak ditemukan bekas-bekas kondom, atau kondom bekas? Halah! Tibang coli doang pake kondom hahaha... Sekeluarnya dan sekeluarnya dari bioskop laknat itu, matanya terangkat ke arah langit sore yang mendung. Tampaklah antena-antena entah apa di atas gedung redaksi majalah-majalah Kartini dan Ananda yang [dulu] nampak begitu tinggi. Ia seperti merasa ada tetesan air menghantam dahinya. Diusap. Air... tapi koq kental? Dilihat. Tidak bening. Setidaknya, tidak semuanya bening. Ada putih-putihnya. Diusap-usap di antara jari-jari. Kental. Dicium. Bau! Seorang ibu muda yang cantik, mungkin di akhir duapuluhan atau awal tigapuluhan, begitu saja berlalu di hadapannya; dan bahkan tanpa melirik apalagi menoleh, begitu saja berkata, "itu tai." Ia menoleh, memperhatikan gaun terusannya yang agak sedikit di atas belakang lutut, sehingga memperlihatkan lipatan lututnya. Sementara ibu itu menjauh, pandangannya diangkat pada rambut si ibu yang dipotong pendek menawan, nangkring di atas risleting sepanjang punggung sampai di dasarnya. Ia tersenyum. "Burung dara," bisiknya pada dirinya sendiri.

Teringatnya, aku memesan buku di Kios Islami, Yasin Fadhilah dan... sepertinya ada satu lagi, tapi lupa. Kalau yang datang bukan Yasin Fadhilah bagaimana? Ya tidak apa-apa, pesan lagi Yasin Fadhilah ...tapi 'kan aku sedang miskin? Yah, karena aku sedang miskin, siapa tahu rejekiku mendapatkan dua buku yang salah satunya Yasin Fadhilah. Gaya-gaya'an beli Yasin Fadhilah, yang di rumah aja jarang dibaca. Lhoh, namanya juga usaha. Siapa tau dengan buku baru yang bentukannya lebih bagus, aku jadi lebih semangat mengamalkannya. Sejujurnya, Para Sanak, niatku mengamalkannya adalah agar mendapat lebih banyak uang. Bukannya cari ojekan malah yasinan, gemana sih? Sengaja nyari mungkin tidak, tapi sedapatnya yang lewat di hadapan ya diusahakan sebaik-baiknya; seperti Ratna Anjani menjalani tapa nyantuka, merendam diri di tepian telaga sambil membiarkan mulut menganga. Daun lewat daun dimakan. Lele lewat lele dilahap. [meski kuning? Tidak ada diterangkan dalam riwayat.] Ketika kulirik, jam sudah menunjukkan enam seprapat. Tentunya sudah Maghrib. Baiklah kiranya erotisme ini diakhiri dengan segera, untuk terbirit-birit melakukan ablusyen. Waktu di Maastricht aku belum tahu istilah ini, kalau tidak salah aku menyebutnya "ritual washing." Begitulah maka beberapa orang maklum, lainnya memandang aneh ketika aku mengangkat-angkat kaki masuk ke wastafel.

Aku yang menentukan kapan harus det'il
Aku yang menentukan kapan harus pentil
 

No comments: