Saturday, January 04, 2014

Seorang Dosen Koprofil Berjubah Genggang


Ngopi itu asalnya memang keisengan, atau kecemasan, atau kegelisahan, atau pun... atau Pond's bodi losyen. Lhah, lucu 'kan, ketika jantung sudah berdentam-dentam malah ditambahi kafein. Kemudian dari pada itu memang tepat jika merokok Djarum Super, karena nikotin merupakan obat pengubah suasana hati, (mood-altering drug; MAD) katanya. Terlebih jika ditambahi produksi asam lambung yang berlebih, mengguliri, merambati sariawan-sariawan, dan koreng-koreng, dan bisul-bisul di dinding lambung; terasa seperti interlud berupa lead gitar yang diberi sedikit overdrive. Namun, di atas itu semua, rum dan wiski, minuman sejati orang pelaut; [atau minuman orang pelaut sejati?] meski aku nyaris yakin bahwa itu semua hanya dalam khayalku saja, karena aku tidak pernah minum grog. Aku hanya dengar-dengar, katanya persediaan air di kapal, agar tidak berganggang berlumut, ditetesi sedikit rum atau wiski. Sebetulnya 'kan tidak apa juga berganggang, berlumut; paling rasanya nanti seperti supnya orang Jepang--meski dengan demikian tidak selalu orang Jepang itu pelaut dan juga sebaliknya. Oh, betapa sulitnya menjadi dosen tanpa obat pengubah suasana hati. Dosen butuh suasana hati yang sebaliknya. Maksudnya, jika suasana hati sedang sendu, maka dosen harus udnes.

Ular picung. Bukan yang ini. Ini yang masuk rumah.
Lagi, dan lagi dan Lagi. Lagi-lagi Lagi. Aku selalu ingin lupa tapi aku takut, karena hati-hatilah pada apa-apa yang engkau inginkan. Jika saja ada sesaat itu... Berandai-andai pun tidak boleh karena temannya setan, dan setan bukan teman yang suka berandai-andai. Aku lebih baik berteman kucing-kucing dan anjing-anjing... Kucing, anjing, tidak juga. Aku... berteman diriku sendiri, yang sebaiknya kuberi nama; dan namanya adalah... Ahmad Yani. (?!) Tidak lah. Aku berteman dengan... tai! Betapa lucu kata ini jika dituliskan. Mengapa orang suka memaki dengan namamu, Kawan? Padahal engkau sungguh lucu, tiga huruf begitu, t - a - i. Bahkan, namamu terdengar seperti nama perempuan. [hei, kau tahu 'kan apa itu perempuan?] Kau perempuan, 'kan? Mari sini kulihat. [kuangkat ekornya] Huh, kau perempuan! Mencret pulak! [sambil mencampakkan kembali ke tanah] Aku tidak suka padamu, karena kau suka genit menggelesot-gelesot. Bukan karena bulu-bulumu, aku tidak suka genitmu yang menggelesot-gelesot begitu! [bisa kaubayangkan, digelesot-gelesoti tai?] Bisa mampus dihujat dijijiki feminis aku begini... yah, semoga dada kalian tidak saja membusung tetapi juga melebar untuk mampu menampung rasa sakitku--yang sama sekali tidak maskulin apalagi macho ini, duhai, para feminis--karena aku hanya seekor koprofil.

Ini seperti berpelukan di bawah gerimis menderas. Ya, tepat seperti itu, di tepi hutan. Meski seekor ular picung yang cantik melata melingkari kaki, pelukan tidak mengendur tidak terburai; justru mengeras, menguat, mengeraskan pula yang di bawah situ, membasah pula yang setentangnya, agak ke bawah sedikit. Cantik, ular picungnya, dengan kepala hijau seperti permen fox, dan lehernya yang merah seperti bibir perawan. Namun, ketika bibir, keras kering menghitam, berbau tembakau mengoles-oles rambut basah, kepala tengadah dengan bibir minta dipagut. Terbuka sedikit, menjulur lidahnya; seperti lidah ular picung namun tidak berbelah, karena lidah ular dan kadal gunanya untuk mencium bukan mencecap. Maka berpagutlah, bibir dan bibir bertangkup, mengatup, sedangkan lidah menjalar-jalar kian kemari saling bersilat, membentur gigi-geligi, langit-langit mulut, terkadang dinding pipi sebelah dalam. Ini semua berakibat pada mengeras dan membasah dan melorotnya resleting-resleting, sedang gerimis sudah berubah menjadi hujan deras; masih juga ditingkahi gelegar guruh dan guntur, berkelebat kilat. Ular picung merapatkan tubuhnya pada tanah. Tanah mempererat dekapannya pada ular picung, membagi padanya sisa-sisa kehangatan matahari yang masih disimpannya dari siang tadi. Malam itu, di bawah derasnya hujan, di tepi gelapnya hutan menggeremang cinta; dan ular picung memagut ekornya.

No comments: