Friday, January 17, 2014

Entri ini Apa Judulnya, ya? Pencapaian Estetik?


Menyelesaikan sebuah entri di sini selalu terasa seperti sebuah pencapaian. Pencapaian estetik, tentunya. Di mana lagi aku dapat melakukannya, di RKAT, proposal DIPA APBN UI, di mana lagi? Ya, tidak ada lagi kecuali di Kemacangondrongan ini. Bisa jadi, jika aku mati nanti, ini menjadi satu-satunya peninggalanku; meski aku berharap, tentu saja, ada yang lain-lainnya. Demikian juga khatib Jumat ini berbicara mengenai mati. Ketika sampai pada saat itu, maka hidup terasa seperti sepagian saja sampai dhuha, atau sesorean saja sampai maghrib. Sebentar sekali! Hidup ini seperti lilin, menyala sambil membakar dirinya sendiri sampai lama-kelamaan habis. Khatib juga bercerita mengenai suatu kisah, kalau tidak salah dari Jalaluddin ar-Rumi. Alkisah ada seseorang yang suka menanam pohon duri. Setiap hari disiraminya sampai subur tumbuhnya. Waktu tanamannya masih kecil saja, orang sekadar heran melihat kelakuannya. Namun, ketika tumbuh semakin besar, duri-duri pohon itu mulai menggangu orang lewat. Ada saja yang tertusuk, sampai orang-orang menegurnya agar menebang saja pohon duri itu. Ia pun sesungguhnya mulai terganggu oleh tanamannya sendiri, akan tetapi selalu saja ia menunda dan menunda menebang pohon durinya. Sampai pada suatu ketika, ia sudah tua renta dan lemah sedangkan pohon duri itu sudah demikian kokohnya berdiri. Ia tak lagi mampu menebang pohon itu. Pohon duri itu, saudaraku, adalah kiasan untuk perbuatan maksiat.

Satu hal yang sangat menarik dari kisah itu adalah, bahwa perbuatan maksiat itu tidak hanya merugikan untuk pelakunya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Ya, mungkin ini yang sering dilupakan orang, yang berpikir bahwa, toh, kelak di akhirat akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri. Tidak hanya perbuatan maksiat, tetapi berbagai bentuk kedurhakaan dan keingkaran lainnya, akan merugikan bagi persekitaran. Dari sini, aku teringat, entah baca atau mendengar dari mana aku lupa, kalau tidak salah dari Ali r.a., celakalah [kalau tidak salah] orang yang mencerca setan ketika di depan umum tetapi menjadikannya sahabat ketika sendirian. Naudzubillahi min dzalik tsumma naudzubillah! Jika sudah begini maka kembalilah kita [kita? lu kalik!] pada masalah pencapaian estetik tadi. Pencapaian estetik bagiku sangat penting dalam menciptakan suasana hati yang sesuai untuk bekerja. Akan tetapi, usaha menciptakan suasana hati itu seringkali, bagiku, berakhir pada tidak dilaksanakannya usaha yang sesungguhnya. Setelah suasana hati nyaman, maka ya sudah; yang penting suasana hati sudah nyaman, dan pekerjaan pun tak satu juga terselesaikan! Rumi adalah seorang seniman. Ia menghasilkan karya-karya seni bermutu tinggi, tinggi pencapaian estetiknya. Akan tetapi, abdillah yang seperti apakah dia? Sejujurnya, jika berbicara nyaman, aku paling nyaman membaca terjemahan karya-karya Syekh Abdul Qodir al-Jilani ketimbang Rumi apalagi Ghazali; meski ibnu Athaillah memang yang paling membekas sampai saat ini.

Kemudian lagi, membaca. Apa yang kudapatkan dari membaca-baca itu? Apakah aku menjadi lebih baik gara-gara membaca-baca? Insya Allah hanya itu yang kuinginkan, kudambakan. Lain tidak. Lebih apalagi. Memang gara-gara kecenderungan cingcongku, aku selalu saja sok iya menceritakan ini itu dari yang kubaca-baca; meski sekarang, kurasa, sudah jarang sekali kulakukan, karena sudah sangat jarang pun aku membaca-baca buku-buku seperti itu. Lihatlah sendiri, entri-entri di Kemacangondrongan semakin tidak ada isinya, jika pun ada paling banyak pengulangan. Sudah lama sekali aku tidak menambah apapun dari sumber itu. Mungkin memang--seperti yang pernah kukatakan pada Togar--ini adalah sekadar caraku mempertahankan kewarasan. [Lalu, apakah semakin sulit mempertahankannya maka semakin sering menulis-nulis belakangan ini, sampai setiap hari satu entri?] Dari mana datangnya gagasan dalam benakku bahwa aku adalah seorang seniman? Entahlah, yang kutahu, kebutuhanku akan keindahan besar sekali, dan--ampunilah hamba yang sok tau sok iya ini, Ya Allah. Maafkanlah kelancangan patik, Para Guru--keindahan yang paripurna adalah mengabdi kepada Allah. Jika tidak salah ini kubaca dari status pesbuknya Iman K Rahmanto: mencintai Allah adalah berusaha mengikuti semua keinginanNya, mengerjakan yang disuruh, menjauhi apa yang dilarang. Mencintai Allah adalah berusaha meniruNya, meniru akhlaqNya, meniru perbuatanNya. Itulah sejatinya estetika, Estetika Sejati!

Ya, kurasa memang Pencapaian Estetik. Bismillah.

No comments: