Thursday, January 09, 2014

Hari ini Simone Berulang-tahun yang Keberapa?


Hari ini panas sepanjang hari. Ini Kamis. Besok Jumat, dan di benakku kini ada taman bermain. Namun kini tidak lagi, karena kau, perempuan, mengingatkanku bahwa hari ini, 9 Januari 2014 adalah ulang tahun Simone! Huh, ya, kuakui, memang Simone yang itu, meski di kepalaku ada Simone lain yang lebih kusukai [suka?] Simone yang itu? Simone yang itu menemaniku di sebuah ruang makan yang kecil saja, ketika sahur atau sudah imsak tidak tahu apa bedanya; sedangkan sup hangatnya bisa sayuran, kacang ercis, atau... mungkin kari, sedangkan tehnya harum-harum lucu bagaimana begitu. [sedangkan kini aku minum temulawak instan, di kamar belakang M14 QS, sedangkan angin meniup kencang sekali memimpin simfoni daunan bambu yang fortissimo. Seorang anak memimpin prosesi dengan genderang buatan sendiri, sedangkan Yesus tersenyum padanya, dan genderangnya yang buatan sendiri itu.] Ruang makan dengan pemanas gelombang mikro yang jam merahnya berkedip-kedip, [atau tidak] pemanas airnya, kompor beberapa tungkunya, penggoreng dalamnya, dan, terpenting, jendela dengan pemandangan ke luar yang jarang sekali kuamati. Beberapa jenis masakan kucoba di ruang makan merangkap dapur itu, huh, tentu saja aku lebih piawai. Tidak banyak yang tersisa darinya kecuali perasaan seperti kekenyangan namun sebenarnya belum makan apa-apa. Suatu kesakitan yang tumpul, tidak tajam, tidak menggigit, tetapi sakit; dan lampu kuning temaram, dan dingin sejuknya udara, dan baju rajutan, dan bau... Kau bau, Simone.

Mengenai bau ini ada lagi. [Mengapa aku masih takut juga memulai kalimat dengan "tapi" dan "dan"?] Memang salahku juga menunjukkan padanya bagaimana membangun benteng, perkubuan, lengkap dengan menara-menaranya, gerbang-gerbangnya. Sibuklah ia meniru perbuatanku sampai baunya menguar ke seantero kastil dingin tak berpenghangat udara. Dan [akhirnya...] tirai yang membatasi basah dan kering, dan tungku atau pemanggang tua, semuanya bau, seperti otakku yang bau bacin, kusam, kumal, seperti handuk merah Alfamart yang menemui ajalnya di sana. [...atau sudah jauh sebelumnya] Penyesalanku merayap ke mana-mana seperti caplak yang amoral, sampai-sampai aku tidak tahu lagi lebih amoral mana, merancap dengan lukisan Dali sebagai inspirasi, atau saling memanggil Cil dan Bi? Namun tetap saja yang tinggal adalah kesakitan. Sakitnya boncengan sepeda yang tidak berpelana di atas jalan bebatuan yang, tentu saja, tidak rata. Sakitnya kaki menendang keran yang tertanam mati di dinding hanya karena mengikuti dorongan hati. Sakitnya luka parut yang dialiri air pancuran, yang kadang terlalu panas kadang kembali dingin. Angin sudah berhenti berhembus di tepian Cikumpa sini, dan sebuah lagu kecil sudah hampir berakhir. Kesakitan itu masih terus menderaku bagai siraman sirup coklat dan taburan meses pada es krim vanila atau mint, meliputiku seperti kocokan telur pada sosis murah, gorengan jajanan anak SD. Tirai merah besar dan berat menyaksikan semua itu, aku tidak bisa berkelit. Aku sakit.

Temulawak instan juga sudah habis. HP 520 pun sudah digantikan Axioo Pico. Aku yang dulu sudah tergantikan sekarang? Aku kini adalah pekerjaanku dan uang yang kuhasilkan, serta sedikit pekikan dan erangan kesakitan yang tidak mampu lagi kutahan. Kesakitanku kini adalah tidak kunjung punya mobil, sedangkan rumah punya, kulkas punya, mesin cuci punya, pemanas gelombang mikro punya, televisi punya, pemutar visidi punya, dekoder nexmedia punya. Mobil tidak kunjung punya. Mungkin di situ strategisnya Togar Tandjung. Mungkin di situ. Aku merancang-rancang dan mengatur-atur seakan-akan aku ini seorang manajer. Padahal, tidak ada yang bisa lebih betul dari Bang Cipi ketika dia mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak pernah beranjak dewasa, hanya saja mereka belajar untuk menjaga kelakuan mereka di depan orang banyak. Ya, karena kewarasan adalah konsensus, Gar. Suka tidak suka kau harus terima itu. Kewarasan bukanlah apa yang dihasilkan oleh pikiran, melainkan apa yang dilihat orang. Tidak ada orang yang akan mengenang kata-katamu, bahwa Descartes salah. Pikiran hanya menghasilkan jelaga. Tidak akan ada yang peduli pun jika Hegel, menurutmu, salah. Gagasan tak ubahnya asap knalpot Mayasari Bakti Nomor 57 Jurusan Blok M - Cililitan. Orang lain yang menentukan dirimu waras atau tidak, bukan dirimu sendiri; dan kau tidak akan pernah berhasil mengumpulkan cukup banyak orang gila, sehingga yang gila adalah yang pada waras itu. Tidak, Gar, kalaupun ada yang mampu begitu, lebih baik dicegah. Bukan begitu, Simone?

No comments: