Sunday, September 07, 2008

Mengantisipasi Seseorang untuk Memeluk


Goklas pagi ini bicara tentang semangat. Ia juga suka sekali bicara tentang korps. Aku selalu membayangkan korps-nya Goklas ini --yah, korps-ku juga-- seperti korps santri. Setelah lulus, maka bertebaranlah. Babat hutan. Da'wah. Bil hal, bila perlu bi lisan. Akan tetapi, sebagian besar dari kami mungkin tidak begitu wawasannya. Aku selama ini sering mencela mereka sebagai kumpul-kumpul pensiunan. Eksklusivisme positif, atau sekadar silaturahmi? Entahlah. Aku memang suka menyendiri, itu saja.

Oleh karena itu, betapa nyamannya kamarku di lantai dua rumah Oom Jerry Sassen ini, di bilangan Malberg. Tenang. Sepi. Sendiri. Maafkan aku, 'Klas. Aku tidak bisa menukas jika inti dari semua ini adalah keep in touch. Mungkin kita sekadar dua orang yang berbeda. Kulihat kau sudah menemukan jalan menuju Tuhanmu, aku pun begitu. Kita menjadi dua orang yang sama. Sudahlah. Maafkanlah aku. I'll try my best to always be in touch.

Siska... aku tidak mau berkomentar mengenai dirinya. Mengapa jadi seperti ini riwayatku dengan perempuan? Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mungkin karena satu-satunya pelabuhan jangkarku adalah orangtuaku, idealisasiku mengenainya. Aku sekarang malah terpaksa menyebutnya sebagai tanggung-jawab kesejarahan. Lalu aku membual juga mengenai kewajiban yang harus selesai dalam hidup yang kali ini juga.

Hidup itu seperti garis lurus, tak pernah kembali ke titik semula, begitu kata Sam. Aku juga tidak pernah menyesalinya. Apa pun yang kurasakan mengenainya tidak dapat disebut sebagai penyesalan. Apakah aku mengutuk diriku sendiri? Ampunilah hamba jika memang demikian, oh Allah. Apalah arti kutukanku dihadapan ketentuanMu. Jalan di depanku, jika ada, tolonglah hamba agar tidak memusingkannya. Jangan jadikan hamba, oh Allah, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bangkrut dan merugi. Aamiin.

...tapi... Aku butuh dipeluk. Aku butuh memeluk yang membalas pelukanku. Itulah sebabnya teletubbies suka berpelukan. Itulah sebabnya dua ekor kukang muda yang dijual orang di pinggir jalan saling berpelukan, karena memeluk itu mengantisipasi untuk balas dipeluk. Itu semacam hasrat, seperti riak air di danau kecil yang ditiup semilir angin musim panas. Bayi terbentuk sistem kekebalan tubuhnya karena dipeluk, didekap oleh ibunya, dielus perlahan --tidak karena sekadar disusui. Semua mahluk begitu, tidak terkecuali manusia, muda maupun tua.

Demikianlah kehendakNya atas yang berjasad. Jika penguat jiwa adalah berserah diri, penguat jasad adalah pelukan yang berbalas. Hey, aku bisa saja memeluk sebatang pohon dan "merasakan" betapa ia membalas pelukanku, tetapi bukan itu benar masalahnya. Ini adalah masalah jasadiyah --ada nggak ya kata ini? Bukan rasa di jiwa, melainkan rasa inderawi. Di Belanda yang dingin ini, yang jarang terdengar kalimat al-thayyibat ini, wajar jika keenam indera meronta-ronta.

Aku menginginkanmu

2 comments:

Ika Nuri said...

Tetap semangat, Mas.

Kirim pelukanmu dengan Doa, Insya Allah dia akan merasakan pelukanmu. :)

Salam kenal..

Eka said...

Tulisannya Bagus Mas Bono. Love it so much:-)