Friday, September 05, 2008

Sudah Jatuh Tertimpa Cinta


Aku pasti tidak sendirian di dunia ini, yang menyangka bahwa kebutuhannya akan cinta dipenuhi dengan cara yang tidak lazim. Aku juga pasti bukan satu-satunya manusia dengan kecerdasan yang boleh juga, sehingga menyelimuti fakta sepele --seperti jatuh cinta-- dengan argumentasi-argumentasi yang pura-puranya abstrak. Akan tetapi, memang demikianlah perjalanan kehidupan percintaanku, setidaknya seperti yang aku ingin percaya. Seperti ketika Neil bercerita tentang derai tawa di bawah guyuran hujan, seperti itulah kisah cintaku. Sungguh indah tiada tara, setidaknya seperti yang kuyakini. Semua itu ada di dalamku, dalam suaraku yang merdu, dalam kemampuan artistikku yang kentara, dalam benakku yang seluas samudra. Pendek kata, aku mencintai diriku sendiri.

Benarkah begitu? Tidakkah aku pernah mencinta selain diriku? Tidakkah karena itu semua aku jadi mudah terjerembab? Dapatkah aku sekadar mengakuinya saja, kalau aku memang mudah jatuh cinta? Lalu, apakah salah bila aku mudah jatuh cinta? Salah! Salah satu dikotomi favoritku, benar-salah. Pertama memang harus benar-salah, baru baik-buruk, kemudian berguna-tidak berguna. Mudah jatuh itu salah, karena harus berhadapan dengan satu pilar yang tak mungkin goyah, setidaknya seperti yang ingin kupercaya. Kerapuhanku memang harus disangga pilar-pilar kokoh, jika aku tidak mau terus terjerembab, terperosok entah ke kedalaman yang mana. Pilar yang satu ini, aku tidak mau itu tergoyahkan. Hanya aku yang dapat memastikannya selalu begitu, karena semua ini mengenai aku.

...tetapi aku... jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada dunia yang mudah busuk ini. Aku jatuh cinta pada rapuhnya dunia, justru karena rapuhnya itu. Aku jatuh cinta padamu. Mustahil aku terus-menerus mencintai diriku sendiri. Mustahil aku sembuh dari luka-lukaku jika terus menerus jatuh, dan luka, dan jatuh, dan luka lagi, dan jatuh lagi. Sampai kapan aku menikmati rasa sakit ini, pedih yang menyayat, sesak yang menekan, tetapi membangkitkan gejolak birahi ini? Ketika Sarah tiba-tiba saja menyelonongkan, "Lihatlah aku," ketika itu juga aku merasa membuncah tak tertahankan. Aku mencapainya, kenikmatan ini. Rasa sakit ini. Aku seperti merdeka, padahal tidak. Aku seperti tuan, tentu saja bukan... aku hanya... jatuh cinta.

No comments: