Sunday, September 21, 2008

Nuzulul Qur'an, Khadijah ra., Aisyah ra.


Aku berlindung kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah Pengayom alam. Shalawat semoga selalu atas Rasulullah Muhammad SAW. beserta keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir jaman. Amma ba'du.

Pertama, harus kuakui artikel Akhi Afifudin berjudul Nuzulul Qur`an, Perempuan, dan Paradoks Keaksaraan telah mengilhamiku untuk menulis entri ini, tepat ketika aku ingin bermenung tentang Nuzulul Qur'an. Sungguh memalukan usahaku memeringati hari besar ini, tetapi kulakukan juga, sekadar daripada tiada sesuatu pun yang kuperbuat untuknya. Ampunilah hamba, Oh Allah.

Dari sekian banyak kalimat yang dihamburkan Akhi Afif, mungkin bagiku yang paling mengena adalah, "[Akan] tetapi dalam mempelajari historiografi Al-Qur`an, tidak banyak yang tahu bahwa yang pertama kali meyakini kebenaran al-Qur`an justru seorang perempuan, yakni Siti Khadijah al-Qubra, istri Nabi sendiri." Sungguh, kalimat ini adalah klaim paling kuat dalam artikel itu. Sayang, mungkin karena tuntutan gaya penulisan, justru klaim tersebut kurang tereksploitasi. Memang sulit membuat sebuah esai, apalagi jika cakupan topiknya seluas yang diangkat Akhi Afif dalam artikelnya itu. Akhirnya, menurutku, artikel itu justru kehilangan kekuatannya —afwan, Akhi.

Betul, fakta mengenai peran Khadijah ra. dalam peristiwa Nuzulul Qur'an sudah terlalu sering terlewatkan, atau setidaknya, tidak mendapatkan tekanan dalam berbagai artikel maupun ceramah. Aku sekadar membayangkan. Rasulullah SAW pastilah seseorang yang lembut hati. Hatinya tentu mudah terguncang, dan pengalaman pada malam itu, seorang diri di gua Hira', tak pelak membuatnya sangat terguncang.

Sungguh Maha Halus Maha Rinci rencana Allah, seandainya tidak ada Khadijah ra. dalam keseluruhan skenario itu, entah apa yang akan terjadi pada seorang laki-laki yang lembut hati itu. Kenyataan bahwa Khadijah ra. lebih tua daripada Rasulullah SAW juga seperti sebuah kebetulan yang manis, yang memungkinkannya berperan sebagai "ibu" di saat yang sangat genting ini. Sekali lagi sekadar membayangkan, pertahanan mental Rasulullah SAW pada saat itu pasti telah luluh-lantak, dan ia berpaling pada istrinya seakan seorang anak kecil mencari perlindungan pada kehangatan ibunya.

Tersebutlah ketika Rasulullah SAW didera keguncangan mental yang hebat, Khadijah ra. mengatakan dan melakukan sesuatu yang, sekali lagi, sungguh seperti kebetulan yang manis. Rasullulah mengira dirinya telah berubah akal, atau menjadi seperti kebanyakan penyair Arab pada masa itu, yang bersyair karena "dituntun" oleh mahluk tak-kasat-mata—sesuatu yang tidak disukainya. Khadijah ra. segera menukas, "Tenanglah, Sayang. Tak mungkin Allah mempermalukanmu begitu rupa. Engkau selalu menjaga silaturahmi, berkata benar, membantu meringankan kesusahan orang lain, dan beramah-tamah pada tamu."

Setelah ia membangun kembali perkubuan mental suaminya, maka ia mencoba memperkokohnya dengan argumentasi rasional, dengan membawanya kepada saudara sepupunya, Waraqah, yang dikenalnya memahami kitab-kitab. Demikianlah maka Waraqah memperkuat dan memberi bentuk rasional pada kesimpulan Khadijah ra., bahwa Muhammad bin Abdullah ini memang benar Rasulullah. Subhanallahu Akbar!

Jika sampai di sini saja kisah ini sudah demikian menggetarkan, kurasa kita yang awam ini tidak banyak menyadari, bagaimana caranya sehingga kisah ini sampai kepada kita sekarang. Ini pun suatu kebetulan yang manis, karena narasi ini disampaikan oleh—siapa lagi kalau bukan—Aisyah ra., "saingan" Khadijah ra. Samar-samar sampai ke telinga kita, bahwa Aisyah ra. tidak pernah cemburu pada istri-istri Rasulullah SAW yang lain, kecuali pada satu yang ia bahkan tidak pernah hidup sebagai sesama madu, yaitu Khadijah ra.—Rasulullah SAW menikahi Aisyah, dan istri-istri lainnya, sepeninggal Khadijah ra.

Bahkan ada sementara kisah, ia terkadang menyebutnya sebagai "perempuan tua" saking cemburunya. Aku sekadar berandai-andai, jika pun Aisyah ra. cemburu pada Khadijah ra., itu lebih karena keluguan emosional seorang perempuan muda. Namun, dari narasinya tentang peran Khadijah ra. dalam peristiwa Nuzulul Qur'an—ini pun sekadar berandai-andai—tersirat kekaguman dan penghormatan yang tulus pada madunya itu. Sungguh mereka perempuan-perempuan utama yang ditentukan untuk mendampingi kekasihNya—Aku tidak menyebut "laki-laki" lho. Tidak bias jender, 'kan?-- di dunia yang fana ini. Subhanallahu Akbar!

Kini, tinggallah aku tercenung di tepi jurang keputusasaan. Apa yang masih dapat dilakukan agar saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, terutama diriku sendiri, mau mengambil teladan dari kisah-kisah mereka? Sungguh, betapa mengerikan pengorbanan mereka bagi umat manusia, membiarkan diri-diri mereka—dan kisah hidupnya—dijadikan contoh bagi umat manusia sehingga akhir jaman. Mereka "sia-sia"-kan hidup mereka, Rasulullah SAW dan keluarganya, demi memberi tuntunan yang terpraktis dan terinstan bagi manusia yang paling tidak cerdas sekalipun.

Bayangkan, betapa menderitanya seorang laki-laki Arab di masa itu, yang tidak pernah memiliki keturunan laki-laki. Betapa memiriskan nasib perempuan-perempuan Arab pada masa itu, yang tidak boleh dinikahi lagi oleh siapapun sepeninggal suaminya. Namun mereka merelakannya, hidup mereka sendiri. Allahu al-'Aliy al-'Alim menganugrahkan kepada mereka "penglihatan" mengenai apa jadinya kisah-kisah hidup mereka, di kehidupan yang ini, dan di kehidupan yang nanti. Subhanallahu Akbar!

Kini, tinggallah aku tercenung di tepi jurang keputusasaan. Apa yang masih dapat dilakukan agar saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, terutama diriku sendiri, mau mengambil teladan dari kisah-kisah mereka? Adakah masih terusik lamunan kita, oleh peringatan Allah tentang seburuk-buruknya jalan, yang bahkan mendekati saja sudah dicegahNya? Adakah masih tergetar sanubari kita, ketika Rasulullah SAW sampai harus dihibur oleh Allah dengan janji tentang kebaikan yang berlimpah-limpah, karena diolok-olok sebagai "yang terputus"?

Adakah masih bebal kalbu kita, sehingga menjadi orang-orang yang paling bakhil hanya karena tidak pernah memohon belas-kasih Allah bagi orangtua-orangtua kita, sebagaimana mereka berbelas-kasih pada kita ketika masih kecil? Adakah masih luput dari kesadaran kita, betapa sentralnya ketokohan anak yatim dalam epos ini, sedangkan Rasulullah sendiri adalah yatim seyatim-yatimnya? Adakah masih tergelitik nalar kita, ketika Rasulullah SAW meninggikan derajat ibu-ibu kita sebanyak tiga kali dibandingkan bapak-bapak kita? Adakah itu semua diadakan tidak untuk apa-apa?! Adakah itu semua, meski manis, hanya kebetulan saja?!

Tiada upaya dan tiada daya kecuali dengan Allah Maha Tinggi Maha Mulia. Maha Suci Allah, Pengayom kita semua, Pengayom yang Perkasa atas segala yang disifatkan. Keselamatan semoga atas para Rasul. Segala puji hanya bagi Allah Pengayom alam.

No comments: