Sunday, September 14, 2008

Hari-hari Terakhir Musim Panas di Maastricht


Tangannya begitu saja meraih tengkuk Sam, ketika sesuatu terasa seperti dibetot dari dadanya. "Sam," dengan tenggorokan yang belum dibersihkan dari lendir, "ambilkan aku damai." Sam yang tidak terkejut oleh gelitik jari-jari di tengkuknya, kali ini benar-benar terbangun dari tidur-tidur anjingnya. "Apa katamu?" juga dengan tenggorokan yang belum sepenuhnya bersih dari lendir. Ketika tidak ada jawaban, Sam pun mendongakkan kepalanya. Apa yang dilihatnya adalah kekosongan. Jari-jari tangan yang tadi menggaruk-garuk tengkuknya kini terkulai lemas. "Oh, sekarang kau tertidur," dengus Sam, yang segera memutuskan untuk tidur kembali juga.

***
Sam, aku sayang padamu. Heh, heh, aku juga sayang padamu, Tolol, lalu kenapa? tukas Sam sambil menyeringai memamerkan deretan gigi-giginya. Tidak, aku cuma ingin berkata aku sayang padamu... err, tidakkah kau juga ingin mengatakannya padaku? Ya, dan bukankah baru saja kukatakan begitu? Oh... ya. Keduanya terdiam memandangi rerumputan yang rebah oleh hujan sepanjang pagi. Rumput-rumput ini tidak begitu cantik, begitu batin Sam. Jika berguling-guling di atasnya pasti jadi gatal-gatal.

Kenapa pakai "Tolol", dan kenapa pakai "kenapa"? Sam menelengkan kepalanya dan membuat mimik seperti sedang mengejek. Lalu kau mau kupanggil apa? Dan tentu saja kenapa, kenapa juga kau masih bertanya? Memangnya ada yang lain di sini, selain rumput-rumput gatal ini? Di sini hanya ada aku, lalu kau. Kalau kau sayang padaku, tentu aku sayang padamu. Masa aku sayang pada rumput-rumput gatal ini? Dia menghela napas dengan mata berkaca-kaca, sambil tersenyum dikulum, untuk kemudian melempar kepalanya menghadap Sam. "Dan "Tolol"-nya, kenapa kau panggil aku begitu?" Oh, itu cerita yang lain lagi.

Aku tahu apa yang kau maksud dengan "sayang". Jangan sampai aku menyampaikan pendapatku ini dalam bahasa Belanda aksen Limburg yang kita sama-sama tahu, karena itu akan membuatmu merah padam. Lebih baik, untuk yang ini, aku menggunakan bahasa yang di-install olehNya di dalam kalbu semua saja ciptaan. Setidaknya, dengan begitu kau akan merah jambu, ha ha ha... ha. Ketika menyadari leluconnya tidak begitu lucu, terbukti dengan tatapan yang masih saja kosong dan berkaca-kaca, Sam pun memasang muka serius.

Menurutku, ehem, lanjut Sam sambil menelan lendir yang menyumbat tenggorokannya, apa yang kau sebut dengan "sayang" itu bukan sayang seperti yang seharusnya. (Oh, ada toh sayang yang seharusnya?) Biasanya, yang begini saja sudah sanggup memicu ledakan kata-kata, tapi kali ini matanya justru terlihat tambah berair. (apa karena angin yang dingin ini?) Sayang yang kau maksud adalah sayangnya jasad yang mudah busuk, yang mudah mengundang lalat bahkan sebelum mulai membusuk, dan akhirnya menjadi persemaian calon-calon lalat. (setidaknya masih ada gunanya)

Kini, sudah pada tempatnya jika aku bertanya, pantaskah, menurutmu, kau menyayangi dengan cara itu? Jika kau menyayangi dengan cara itu, adakah kau masih bisa sayang pada calon-calon lalat yang bersemi pada jasadmu? Heh heh heh, maafkan aku kalau menggunakan bahasa Belanda, tapi aku yakin seratus persen kau tidak akan rela. Jangankan sayang, rela pun tak. Sam menghentikan gonggongannya sejenak untuk melirik. Kini ia tidak tahu apakah itu mata atau mata air, karena airnya tampak makin banyak saja. Haruskah kuteruskan gonggonganku?

Bagaimana kalau nanti berubah menjadi lolongan? Kalau aku melolong, aku masih sanggup mempertanggungjawabkannya. Akan tetapi, kalau Si Tolol ini sampai melolong, hal mana sangat mungkin karena ia selalu saja begitu, meniru-niru apa yang kuperbuat, wah, aku tidak sanggup bahkan sekadar membayangkannya. Cukup lama Sam menimbang-nimbang haruskah ia terus menggonggong, terus menyalak, walau risiko yang harus ditanggung sangat berat. Ketika itulah ia melihat seorang ibu melintas bersama dengan anak laki-lakinya.

Anak itu merengek-rengek minta digendong. Aku lelah, katanya. Ibunya seperti tidak peduli, terus saja melangkah. Jika tadi setengah menyeret anaknya, kini ia benar-benar sepenuhnya menyeret, karena anak itu memutuskan untuk tidak melangkah lagi. Rengekan berubah menjadi tangisan. Heh, kau menangis?! Kini ibu itu berbalik badan menghadapi anaknya, berkacak pinggang. Anak itu diam berdiri di tempatnya, menunduk tidak berani menentang mata ibunya. Napasnya tersengal-sengal lebih karena ia berusaha menahan tangis, bukan karena langkah ibunya yang sebenarnya tidak seberapa sulit untuk diikuti.

Ibu itu seperti tengah menimbang-nimbang, cukup lama. Apa pun maksudnya, waktu itu cukup bagi anaknya untuk menguasai diri. Kini bahunya sudah tidak berguncang-guncang lagi, napasnya sudah lebih teratur. Kau memang masih kecil, kata sang Ibu, tapi kau laki-laki. Kelak jika Ibu sudah tua dan tak kuat berjalan lagi, kepada siapa Ibu akan meminta tolong untuk melakukan ini dan itu? Itu masih mudah. Bagaimana jika ternyata kau harus menolong yang lain-lainnya juga?

Sepotong adegan ini juga cukup bagi Sam untuk membulatkan keputusannya. Okay, aku akan terus menggonggong. Akan kutanggung akibatnya, apa pun itu. Dengar, bagimu, dan bagiku juga tentu, sayang adalah seperti matahari di akhir-akhir musim panas. Biasanya ia memang membelai apa pun yang ada dalam naungannya dengan kehangatan yang melembut, tetapi ada kalanya ia bersembunyi di balik mendung yang demikian tebalnya. Pada saat itu, semua membatin, oh, adakah matahari tidak lagi sayang padaku. (Aku tahu kau sering membatin begitu. Jangan lupa, kita berdua sama-sama berbicara bahasa yang sama)

Tidakkah seharusnya kita semua berterima kasih kepada matahari yang sudi menyembunyikan diri barang dua tiga hari, sebagai latihan jika ia harus menyembunyikan diri tiga bulan lamanya bahkan lebih? Nah, sayang seperti itulah seharusnya antara kau dan aku. Sayang yang meretas batas-batas tempat, waktu, dan keadaan, yang jika sudah begitu, buat apa lagi dikatakan. Hey, kau tahu persis kau tahu persis, maka dari itu ketika kau masih bertanya, salahkah aku jika kau kupanggil "Tolol"? Tangannya begitu saja meraih tengkuk Sam, ketika sesuatu terasa seperti dibetot dari dadanya. "Sam," dengan tenggorokan yang belum dibersihkan dari lendir, "ambilkan aku damai."

No comments: