Saturday, September 06, 2008

Ramadhan Baru Enam, Lima Untukku


Akan kutunggu beberapa hari lagi. Tidak. Terlalu cepat. Mungkin beberapa minggu lagi, atau beberapa bulan? Sungguh tak berarti aku di putaran bumi dan peredarannya terhadap matahari. Sungguh, betapa berartinya itu semua bagiku sekarang. Sindiran Matt memang sangat mengena, "Si Tolol yang terburu-buru." Si Tolol pasti selalu terburu-buru. Lebih parah lagi, Tolol yang satu ini bangga sekali kepada dirinya sendiri --satu watak yang sangat terkutuk bagi sekerat budak, termasuk, tentu saja, pada ketololannya.

Dalam ketololan ini, akan kutunggu hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Setahun! Akankah semua ini berakhir pada saat itu? Lalu, kata Matt lagi, mengapa tidak sekarang? Kutinju Matt pada lengannya, lalu kurengkuh dia. Keparat kau, kataku bercanda. Yang seperti ini tidak pernah bisa menunggu, dan besok mungkin sudah terlambat. Kali ini aku hanya tersenyum kecut, kehabisan kata-kata, seperti biasa. Sial kau! Kenapa tidak sekarang? Menggaung menggema memantul-mantul di antara dinding-dinding benakku.

Insya Allah, aku sudah lumayan terbiasa berpuasa enambelas jam. Sixteen hours, mind you. Hari pertama aku gagal, dan aku tidak berencana, God speed, untuk menggantinya terlalu lama, Insya Allah. Tadi malam, Tante Hindry beerhasil memaksaku memasak Kangkung Hoisin. Hoisin, mind you, not Tauco. Propertinya sih agak-agak mirip, ada kedelainya juga, tetapi jelas sangat berbeda. Kata wikipedia, hoisin biasanya digunakan untuk celupan (dipping sauce). Sejak kapan orang makan lumpia dicelup tauco. 'Gak pernah dengar 'kan?

Mungkin sama juga dengan ini. Sejak kapan kangkung ditumis dengan hoisin. Setidaknya sejak malam kemarin. Akan tetapi, rasanya tidak terlalu buruk. Aku justru cenderung suka rasa manisnya, seperti saus barbekyu. Oleh karena itu juga aku segera terpikir untuk menambahkan daging cincang. Tidak terlalu jauh, 'kan? Jadi seperti kangkung cah sapi tapi dengan nuansa oriental barbeque 'gitu. Mantap lah! Dengan begitu, makan sama sekali bukan masalah bagiku. Dalam istilah Tante Hindry, itu namanya "beruntung." Mungkin aku lebih baik menyebutnya: Segala puji hanya bagi Allah!

Anakku membutuhkanku. Itu jelas! Mustahil sebaliknya! Dengan ini, aku tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa, atau menggugat siapapun, atas kata-katanya dahulu. Aku sepenuhnya paham. Itu pun kesalahanku dahulu. Namun, lebih penting lagi, anakku membutuhkan sebuah keluarga yang utuh. Hey, watak melankolisku, sentimentalku, pasti menurun kepadanya, Subhanallahu Akbar! Oh, aku sendiri pasti tidak akan sanggup menanggungnya jika jadi dia, anakku. Tidak ada yang lebih berhak atas curahan kasih sayangku selain kamu, 'Nak.

Itulah sebabnya engkau terlahir sebagai anakku. Akan tetapi, bagaimana aku melakukannya? Jika aku teringat padamu begini rupa, tidak ada lain dalam benakku kecuali kesediaan untuk menyia-nyiakan seluruh umurku, demikian beberapa orang berkata padaku, demi menyayangimu. Aku sendiri siap melakukannya, Insya Allah. Namun, sekali lagi, sampai sini pun tidak pernah kurencanakan sebelumnya, lalu kenapa aku harus merencanakan untuk ke mana pun? Bapak sayang padamu, 'Nak. Bapak tahu, engkau tahu itu.

No comments: