Sunday, July 16, 2023

Kelenting-kelentang Ikan Melenting Telentang


Kukeluarkan kabel pengisi daya berwarna putih pemberian Rasmiwok yang tidak pernah terlihat dan terdengar sakit, kugunakan untuk mengisi daya ponselku yang memberikan koneksi internet pada buku kromku. Di kejauhan terdengar anak belajar mengaji dan retroaksi ini benar-benar harus dihentikan jika tidak mau semakin bingung. Apa boleh buat, di hadapan ada botol plastik kosong bekas air zam-zam lebih dari seminggu ke depan. Di sinilah engkau bisa melihat seperti apa masa depan jika terus-terusan beretroaksi begini, sedang mulut rasa pasta gigi mint segar.
Tadi padahal hampir mengalun debu bintang jika saja aku tertib mengoperasikan galeri. Berhubung tidak, maka kini siang-siang hari di rumah Yado entah di masa yang mana, ketika masih ada jalan sutra. Apakah masanya sama dengan diberkati memukul-mukul beduk, bisa jadi. Badan menua yang tidak pernah diolahragakan masyarakat ini sering mengantuk. Jika tidak dirampakkan jari-jari mengantuk. Jika harus pakai membaca dulu mengantuk, maka tiada sesuatu pun kuhasilkan kecuali entri-entri tolol seperti ini. Itu hanya alasan bagi pelupuk mata yang berat.

Ada orang-orang yang sampai merasa lelah kesakitan. Puji Tuhan aku masih sekadar lelah merasa kesakitan. Orang tolol menarik garis tebal dan tegas di antara badan dan jiwa, padahal manusia hanya dapat merasakan dan menduga-duga. Yang tahu persis bedanya hanya Ia Yang Maha Terpuji. Bukan tidak biasa minggu-minggu pagi begini aku diselimuti perasaan sakit yang laten dan dorman dalam jiwa, yang merayapi sekujur badan, menusuki menghisap darah seperti keluarga besar kutu busuk atau kutu anjing atau kutu ayam. Semua menjijikkan, aku tidak berdaya apalah.

Bukan pula tidak biasa jika minggu pagi telinga disumpal dengan hari ketika kita menemukan cinta sekali lagi, sedang perut disumpal dengan nasi lemak gurih bertabur sejuta lauk, dari mulai telur balado, bihun goreng siram bumbu kacang, semur kentang, oseng tahu kikil, tidak ketinggalan kerupuk merah meriah. Tiada salahnya jika secangkir besar keramik melingkungi teh susu serbat jangkrik aroma uwuh di pagi hari minggu yang sungguh terasa nyaman. Itu semua adalah hal-hal yang biasa, benar, dan semoga saja membawa kebaikan bagi alam seisinya berbahagia.

Tinggal itu saja kebahagiaanku, dan mungkin kau akan menasehatiku untuk mencari kebahagiaan tidak dari makanan. Jangan lupa bahagia bagiku berarti jangan lupa makan karena, sungguh, sudah lama aku lupa seperti apa rasanya lapar. Aku hanya tahu, jika sampai perutku sakit bahkan kepalaku sampai sakit, itu berarti aku harus segera makan jika tidak ingin gemetar keringat dingin. Togar berkata, seperti halnya semua orang yang mengobati penyakit jiwa dengan lari, semua masalah perut hilang setelah membiasa lari, kuketik agar sewaktu-waktu terbaca olehku.

Lantas, apa tidak boleh aku sekadar menikmati minggu pagi dengan mengorek-ngorek menambang kotoran hidung sembari memandangi ayun-berayunnya dauh-daun kenanga pada ranting-rantingnya yang masih kurus. Semua kotoran hidung yang kuperoleh kupeper-peperkan pada paha telanjangku sendiri yang berambut-rambut, bukan paha telanjang siapa-siapa; karena manusia berambut bukan berbulu. Jika sudah tidak pernah kutemui manusia berbulu dari jenis kelamin apapun aku justru bersyukur. Itu artinya aku tidak bisa melihat sebangsa siluman.

Bahkan malam-malam menjadi lebih baik setelah bertambah tua, mungkinkah. Bisakah justru bertambah sehat, bertambah bahagia dengan berambahnya usia, sedang kebiasaan buruk kebanyakan bicara tidak kunjung berhenti. Bilakah lantai-lantai mesjid atau mushala kecil saja akan disapu dan dipel, sajadah-sajadah akan dikebutkan dan dijemur, azan-azan akan dikumandangkan lima waktu, dan kalimat-kalimat tanya akan diberi tanda tanya. Tidak, setidaknya belum, di minggu pagi yang cerah di bawah pengaruh bocah lelaki yang sedang bertingkah ini. Belum.

2 comments:

Sam Saimun said...

And now the purple dusk of twilight time
Steals across the meadows of my heart
High up in the sky the little stars climb
Always reminding me that we're apart
You wandered down the lane and far away
Leaving me a song that will not die
Love is now the stardust of yesterday
The music of the years gone by
Sometimes I wonder how I spend
The lonely night
Dreaming of a song
The melody haunts my reverie
And I am once again with you
When our love was new
And each kiss an inspiration
But that was long ago
And now my consolation
Is in the stardust of a song
Besides the garden wall
When stars are bright
You are in my arms
The nightingale tells his fairytale
Of paradise where roses grew
Though I dream in vain
In my heart it will remain
My stardust melody
A memory of love's refrain

Lembaga Penelitian Hukum dan Masyarakat said...

Betul