Saturday, July 08, 2023

Biarlah Sabtu-sabtu Harus Ada Entrinya Jugapun


Langkah pertama memang harus selalu diratakan terlebih dahulu kanan kiri, seperti halnya terlebih harus diikuti oleh dahulu. Setelah dienceri memang lebih baik. Ternyata dua saset untuk satu mug hitam masih terlalu manis. Ketenangan telah digantikan oleh kenyamanan yang tidak pernah 'ku dapatkan di Amsterdam atau di mana pun selain tepian Cikumpa. Apakah sebutuh ini aku akan kenyamanan ketika di Maastricht, ketika alat-alat tubuhku masih bekerja dengan relatif lebih baik. Meski kelelahan berjalan dari kampus sampai asramanya Tesfaye, aku petualang.
Percaya tidak percaya, ini gambar taik kuciang warna-warni. Makan apa 'tuh kuciang.
Bersepeda ke pondokan Bong Il bahkan masih terasa nyaman. Aku mengenal Manja di Radar AURI, Qodir yang memperkenalkannya padaku. Semenjak itu aku selalu suka padanya, meski mengingat penggambarannya selalu membuat jengkel. 'Ku ambil lagi untukku sendiri ketenangan itu, meski sudah paruh baya begini, untuk berdua-duaan saja bersama Manja. Aku suka keindahan dan kecantikan. Aku tidak suka kengerian seperti anggota-anggota tubuh yang terlepas dari tubuhnya. Terlebih kaki yang dijahitkan pada bahu dan lengan pada pangkal paha.

Wajar saja jika aku menyukai musim semi di mana bunga-bunga bermekaran, ketika tatapan membirahikan hanya dibalas dengan kernyit mempertanyakan. Kesederhanaan yang tidak pernah 'ku temukan di mana pun. Sampai-sampai aku takut, jangan-jangan aku tidak suka kesederhanaan. Pikiranku rumit dan aku seringkali tidak sabar pada obrolan remeh-temeh. Sekali-sekali boleh 'lah. Setiap saat, pasti akan 'ku bungkam dengan ciuman penuh gairah pada mulutnya. Masih mengoceh juga, tambah aku sumpal dengan lidah, menekan lidahnya jauh ke tekak. 

Bagus 'lah aku segera dibetot dan dilemparkan jauh ke siang hari di tepi apron timur lapangan udara Kemayoran. Tentu saja aku terlalu kecil untuk sengaja menonton Album Minggu Ini, namun aku juga lupa apakah ketika itu televisi disetel. Masih lebih mungkin pemutar kaset memainkan instrumentalia cantik milik Ibuku, sedang aku bertiarap di lantai ubin yang dingin membaca-baca atau berprakarya. Aku lupa apakah Bapakku libur di hari Minggu. Tidak mungkin lagi ditanyakan pula. Uah, tiada berhenti membetotku, melemparku jauh ke asal-usul goblok ini: Asalku.  

Entah mengapa selalu terkenang jika kembali ke sana, mungkin mie ayam pertamaku. Penuh bersimbah saus pedas yang masih terlalu pedas untuk anak kelas 1 SD, 'ku makan di menara pengawas Kemayoran atau entah di mana tepatnya aku lupa. Ah, akhirnya maju akan ke depan sedikit, ketika aku kelas 5 SD, kepada kelurusan, ketipisan, kehitaman, waktu-waktu ketika aku kurang lebih setua Adjie sekarang. Album perangko warisan Mbak Tiput menjadi salah satu temanku paling setia. Entah mengapa dari semua lukisan Czobel Bela, Mimi yang paling 'ku ingat. Itu salah satunya.

Astaga, dari sini aku mengalami lompatan kuantum ke Sabtu siang berpakaian dinas lapangan hijau-hijau. Topiku mungkin bergaram. Dengan perut setambun sekarang, aku tidak bisa membayangkan betapa sabuk torsi bisa muat selingkar perut. Terlebih setelah mengikuti pendidikan dasar keprajuritan, ketika sabuk yang sama dikecil-kecilkan seramping mungkin; bahkan sampai hilang setelah wisuda prajurit. Entah pakai apa aku ketika kembali ke Akademi Angkatan Laut. Aha, ini lebih bagus. Dingin-dinginnya musim semi Sint Antoniuslaan di kamar sewaan.

Kakus di bawah tangga itu, yang mungkin pernah 'ku rusak gara-gara 'ku jongkoki, tempat di mana aku mengulang-ulang pengalaman mengikuti pergerakan Marinir Keenam dari Baldurshagi sampai Tinian di Perang Dunia Kedua. Sudah, aku tidak mau lagi dibetot dan dilempar. Aku diam saja di sini sekarang, mengitiki ketiak sendiri, merasa geli sendiri. Sabtu siang bermendung begini aku tidak ingat di tempat-tempat lain di mana aku pernah tinggal. Mungkin selama di Belanda, tetapi di Depok sini juga sering, Sabtu siang bermendung begini. Entah masih berapa lagi untukku.

No comments: