Saturday, July 15, 2023

Lain Hari Lain Lagi Sakit Hati. Aku Merindu Muruku


Begitulah teknik pelambangan yang dikembangkan oleh Begawan Toni Edi Riwanto yang jantan lagi pemberani, bukan banci bertitit sepertiku. Uah, untung keriangan gadis nakal ini menerangi suasana hati, mengusir kabut mendung kemurungan yang bermuram-durja. Kalau ini teknik yang ceritanya aku kembangkan sendiri, seperti mengecrotkan saus sambal sari sedap banyak-banyak pada semangkuk munjung mie ayam donoloyo asli Wonogiri. Mengecrot jika berbotol, namun dengan kemasan plastik bantal sekarang ini jadi mendelodok menyelerai; dua-dua bocah berkelahi dilerai.
Karenamu tentunya mengharu-biru jauh sebelum hari-hari di radar angkatan udara Republik Indonesia, namun entah mengapa justru di depan bufet itu, di sofa lipat itu selalu terkenang-kenang. Aku pernah tidur di sofa lipat itu. Tentu saja tidak dalam keadaan terlipat, tetapi dibentangkan. Seingatku aku tidur cepat dan bangun pun cepat, meski shalat subuh kukerjakan setelah terang cuaca. Astaga, aku sudah terlalu tua waktu itu untuk tolol-tololan. Tiga puluh tahun! Betapa tidak menyelerakan entah mengapa digayakan menjadi kambing berkepala batu.

Kini setelah berbicara agak bersemangat sedikit rasanya seperti mau mati. jangankan sambal selera, sambal terasi mentah yang mana aku berebut dengan mbak Melly saja bisa disalahkan. Sekadar bicara dengan seorang kawan lama yang pandai saja tiba-tiba membuat kemaluanku karena tampak lemahnya. Berdentam-dentam sousaphone, berkelenting-kelentang lonceng gadis penghias kalender bergigi kelinci merdeka berambut pirang. Orang Yahudi satu ini hobi sekali bicara mengenai surga dan bidadari, meski jika testosteron masih cukup memang mengudarasa. 

Kurasa kini kupaham mekanismenya, sekadar capek menanda petik tunggal maka dibuat awalan saja. Aku tak berdaya jika seorang diri meski tidak pernah tak merasa jijik pada diri sendiri. Aku sekadar ingat betapa sedihnya menangiskan segenap hatiku untuknya. Berjalan seorang diri entah di mana pun, menyusuri apapun sementara cinta mengkhianati. Demikian juga buku harian yang dirahasiakan, mana tahu ada sepatah dua kata mengenai diriku di dalamnya. Semua itu mengharu-biru remaja tolol usia akhir belasan, maka ia mengakhiri hidup bukan sekadar masa lajang.

Kenyataan bahwa Mang Bedon pernah memintaku bernyanyi tentang seorang gadis yang tengah merayakan ulang-tahunnya yang keenambelas memang menjijikkan hati nurani dan sanubari. Untunglah ia segera berterwelu-welu seraya melumasi rambut kepala yang tidak seberapa cerdas. Sampai kini pun aku tidak pernah sepenuhnya paham mengapa Ibu menyukai raja badut. Memang riang-gembira dan terdengar genial, namun Ibu, tidak sepertiku, bukan sok pengamat musik. Masih lebih mungkin Ibu menyukai syairnya. Itulah yang aku tiada paham mengapa.

Ajakan untuk kembali berkasih-kasihan setelah perpisahan memang sungguh mengharukan, dan dapat saja membangkitkan rasa yang dulu pernah ada. Namun tidak denganku. Harus berapa kali lagi aku ulangi bahwa aku ini binatang malas dari kumpulannya tergilas. Jangankan mobil sedan, sedu-sedan saja aku tak butuh. Tiada pula yang bersedu-sedan karena berpisah denganku. Semua tertawa terbahak-bahak seperti iblis kecil yang jalannya melompat-lompat, melukai perasaan lelaki sederhana dengan cakar-cakar mungilnya. Sungguh terkutuk kelakuannya.

Malam semakin dalam merayap mendekati tengah-tengahnya, seperti entah berapa ribu malam telah kujalani. Ketika muda, malam menyakiti batinku. Kini, malam menyakitiku lahir batin. Terlebih jika ada yang merasa bidadari meski memang benar tidur di kamar sebelah. Suatu kesakitan yang mungkin harus dimohonkan maafnya sebelum menggerus tipisnya tabungan perbuatan baik. Jika Pangastuti dan Rustina Sari sama-sama mengaku ayu apa hendak dikata. Jika penyuka kupu-kupu bentuknya seperti ulat berkamuflase mata palsu apa pula hendak dibuat.

No comments: