Tuesday, July 11, 2023

Pesawatmu Multiperan Bertempur Segala-cuaca


Suatu percobaan nekad mengetiki dibalau hiruk-pikuk simfoni disharmonik yang menunjukkan betapa kacau suasana hatiku. Tidak perlu itu. Kenyataan bahwa Juli ini di setiap harinya terdapat entri sudah menegaskan hal itu. Apa benar hanya setiap di pojokan ini aku kembung sekembung-kembungnya, dan apakah itu lebih baik dari rindu serindu-rindunya. Lagu-lagu kampungan meski dimainkan dengan saksofon dan piano tetap saja kampungan, tidak seperti sekantung permen Hack's yang 'ku beli bersama dengan susu jahe hangat sari. Rasanya senantiasa hangat.
Aku masih ingat ketika asa itu masih ada. Aku memberi makan anakku roti lapis telur dan sayur-sayuran di meja itu. 'Ku marahi dia karena sudah berjam-jam tidak habis juga makannya. Seorang pembeli memesan nasi gemoy buatanku. Ia kelihatan lahap memakannya. Memang diakui oleh si pembeli, nasi gemoynya enak, sayang porsinya kecil dan harganya mahal. Seandainya saja dijual pada harga Rp 20 ribu dengan porsi tiga, atau setidaknya dua kali lipat, mungkin masih dipertimbangkan orang. Akan tetapi semua tinggal kenangan. Telah 'ku ecer-ecer nasi gemoy semuanya.

Sama seperti seekor lalat kuda hinggap di kursi di hadapanku, seperti itu jugalah segala keributan ini seperti menepuk-nepuk cepat kepala botakku, lantas membenturkannya ke papan tulis yang 'ku gambari khayalanku mengenai empat orang penerbang tempur. Sudah berapa papan tulis, baik yang hitam maupun putih, yang 'ku gambari. Menggambar memang pernah menjadi hobiku. 'Ku hentikan setelah 'ku merasa tidak relevan lagi. Seperti halnya Senayan City, mal sebesar itu di seberang Senayan Trade Center dan Plasa Senayan, setelah lima belasan tahun tidak relevan lagi. 

Bukan kemarin, melainkan hari ini, udara sungguh panas memanggang sampai-sampai aku tidak kuat membuka mata kecuali hanya sebentar. Selebihnya aku melingkar di atas sajadah yang 'ku jadikan alas tidur hampir sepanjang hari sepanjang petang. Sanggupkah aku menjejalkan sesuatu lagi ke dalam perutku sekadar pelipur lara, sedang menurut Awful aku sudah seperti babi. Ketika 'ku memejamkan mata barusan, terbayang olehku beberapa pilar putih. Selebihnya mulus, kecuali satu yang seperti berparut dan berwarna agak gading untuk menandainya sebagai investasi.

Tidak dapat dipungkiri, badanku memang tidak seberapa segar. Itulah sebabnya sulit diajak kreatif, terlebih mempersiapkan suatu risalah seminal. Meski seperti dalam gambaran di atas, risalah akan berakhir berdebu penuh sarang laba-laba. Tiada seorang pun 'kan peduli. Tak perlu sedu-sedan itu. Aku ini binatang malang dari kumpulannya terkenang. Ah, ingat aku sekarang. Menantunya Paman Minnow, walau kemungkinan terbesarnya bukan. Mau apa dia jauh-jauh sampai ke Yogya. Bagaimana aku bisa bangun mengancingkan celana, mengencangkan ikat pinggang.

Aku jadi ingat penjual kentang dengan berbagai rasa di Aeon Mall. Entah mengapa aku mengingatnya. Terlebih minuman jamu gaya-gayaan. Tidak ada yang perlu disedihkan ketika tidak ada yang benar-benar sayang. Anggap saja kutu busuk berbaris di lipatan kasur yang tidak pernah dijemur, yang tidak pernah benar-benar terjadi padamu. Seperti sebagian besar khayalan erotis yang tidak berdaya, seperti album stiker Panini yang tidak pernah lengkap stikernya, mau dunia bertahan hidup, Kolumbus, atau Piala Dunia 1984. Cukuplah album perangko menyamankan jiwamu.

Masa kecil atau masa manapun yang telah lampau sudah menghilang darimu. Akan halnya apapun yang tinggal dalam benakmu sekadar jelaga sisa-sisa pembakaran yang tidak sempurna. Aku jelas punya ketertarikan pada ilmu lingkungan. Nyatanya itulah jurusanku ketika mengambil program master dahulu: Pembangunan Berkelanjutan, dan tidak ada seorang pun yang boleh merenggutnya dariku. Kecintaanku pada manusia dan alam sekitarnya tidak bisa hilang begitu saja, meski terkadang karya sastra membuat rasa kagum membuncah meluap-luap; sekarangpun tidak.

No comments: