Saturday, July 29, 2023

Terkadang Larut Malam Kau Minta 'Ku Kata Cinta


Seperti itulah, seperti berbagai gorengan dan soto meletup. Aku malah tidak ingat pernah beli minuman apa. Aku hanya ingat mesjid di belakang atas tempat masih saja bercanda ketika sholat Jumat padahal sudah berbulu kaki. Di mesjid itulah aku sholat dhuha, mungkin untuk kali pertama dalam hidupku, mungkin karena menerima berita lanjut seleksi tahap berikutnya. Masih teringat olehku betapanya, meski tidak pernah kurasakan barang sekecap pun. Tidak satupun kecuali beberapa kuntum bunga asoka, hanya kuncupnya saja, dan mungkin berkeringat bau terasi.
Perasaan ini, suasana hati yang sangat akrab karena tidak pernah berubah entah sejak kapan. Adakah dari waktu-waktu meninjau jauh ke ujung utara, layar besar teater terbuka kemudian bianglala, dari dahan tinjauku pada pohon jambu klutuk. Dapat juga dari dahan kol banda meninjau atap-atap tetangga. Mungkin memang pada umur segitu cuaca tidak akan mengganggu. Hanya suasana hati yang kerap mengganggu, namun tidak di Tangerang. Justru setelah kembali ke Radio Dalam perasaan itu timbul. Pada saat itulah menyanyi diiringi gitar terasa sungguh merindu dendam. 

Tahun-tahun berikutnya, kurang lebih empat sampai lima tahun yang kukira berjuang hanya berakhir pada kemaluan yang mendelep mendalam. Suatu waktu yang mematri mati sebelah selatan perbatasan selalu pada kepala tolol Ari Wibowo. Kusalurkan pada apa kesedihan menggelegak itu, pada malam-malam yang tak berdosa. Malam-malam di mana entah berapa juta orang memadu cinta sedang aku dipanggang bara nestapa yang tidak pernah padam hingga kini. Terkadang kurentang lenganku untuk membiarkan pengapnya pilu menguar, ternyata nirguna.

Lantas kulumuri sekujur badanku dengan anyir lendir penuh kesakitan, menyiksa batinku tiada henti sampai detik kuketikkan semua ini, bahkan setelahnya. Ketika itu jugalah mungkin kunyanyikan lantang nyonya yang benar-benar kucintai masih, terus penuh penghayatan meski diafragma sudah sering dijebol asam lambung. Ada juga waktu ketika kutanyakan masihkah di antara kita yang tentu saja tidak, entah apa yang terlintas pada pikiranku saat itu. Sudah lama, sudah lama sekali, tapi aku masih sedih dibuatnya. Aku tidak pernah bersimbah kenistaan nan menjijikkan.

Terkadang muncul rasa ingin menggapai kisah cinta yang tak pernah ada. Semua khayal tak berdaya, hanya satu impian semata. Khayalanku hanya ilusi yang membawaku menyusuri jalan-jalan Magelang berhujan. Apakah itu hari-hari terakhir musim penghujan awal 1992, yang jelas baret biruku tiada basah. Tepatnya, aku tidak pernah ingat berseragam basah-kuyup kapanpun itu. Jika pun bermandi hujan lebat ketika melepaskan kapal latih taruna satu dari tambatannya, yang kuingat justru berlari pagi bersama Mentor Muki di Gresik keesokan paginya, suatu hari awal 1995.

Setahun kemudian aku merokok di bawah muramnya langit malam Jakarta. Setahun kemudiannya lagi kumainkan piano buatan Afrika Selatan dengan kesedihan bertumpuk-tumpuk. Aku memang tolol, tapi patutkah aku didera nista dan nestapa semacam ini yang ternyata tidak berhenti bahkan sampai lebih seperempat abad kemudian. Malam semakin larut bahkan sudah dini hari. Duduk di lantai ruang tamu mess pemuda sambil berbual entah-entah dengan orang-orang yang sama-sama tidak punya masa depan. Bukan aku tidak punya cinta. Uang aku tak ada.

Seperti dari dulu, sampai sekarang pun tak pernah kubiarkan mataku menatap apapun yang dapat menoreh jiwa. Jadi bekas-bekas parut luka pada jiwaku pasti akibat pandangan periferal. Satu-satunya tatapan yang dapat kuingat sekarang adalah pada ekonomi publik dan analisis empirik. Apapun yang tersisa darinya, takkan pernah kusesali. Aku hanya menunggu waktu dapat berduaan kembali bersama buku kromku mencipta berbagai-bagai pengetahuan. Sekadar tahu memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan bisa membawa rasa senang meski setitik.

No comments: