Friday, July 07, 2023

Babat Babi Buta Berkabut Berbisul-bisul Begitu


Langsung saja 'ku rampakkan: yang 'ku ingat adalah aku mandi segar sekali, sebelum mengenakan seragam bergaya safari berwarna coklat-coklat itu. Namun itu sepertinya waktu yang berbeda dari ketika aku mengenakan kaus polo biru bekasnya entah siapa di Cornelius, ketika aku pura-pura mengepit kepala triceratops biru seakan-akan helm penerbang. Waktu itu aku lelaki tolol awal tiga puluhan penerima beasiswa dari Departemen Pendidikan Kerajaan Belanda. Mengapa aku masih terus tolol mengitiki begini, sementara Bapak sudah lama meninggal. Sungguh sedih.
Sebuah cangkir plastik bergambar kucing memegang jantung hatinya, yang didapat Kambing dari suatu acara bertukar kado, menampung teh Jawa yang 'ku seduh dengan gelas permata besar. Bertukar kado Jawa membawaku pada suatu kesadaran betapa miripnya. Sama-sama lurus, sama-sama tipis, sama-sama bukan, karena belahan jiwaku berambut tebal mengombak cantik seperti Ibuku. Sudah dua pengintai petembak runduk marinir 'ku kenal: Bob Lee Swagger dan Buck Granier. Dua-duanya, tidak seperti Mentor Yusuf dan Mentor Faisal, fiktif. Meski entah.

Cinta pada pandangan kedua adalah pagi hari, entah malamnya tidur atau tidak, di bilangan Harapan Kita, Karawaci sana. Udara pagi, seperti biasa, dingin, membuatku menghisap entah Sampoerna King atau Mild. Seberapa tolol tampakku pada saat itu, 'ku rasa maksimal. Si tolol tidak tahu malu, dikeluarkan dari Akademi Angkatan Laut karena lemah mental, bergaya jagoan merokok segala. Cinta pada pandangan pertama tidak pernah sekalipun dalam hidupku karena terlalu sombong dan gengsinya, meski teringat suasana Tangerang, Ki Samaun di malam hari.

Langsung terlempar ke Palembang atau bahkan sudut LKHT bekas M-Web yang kini paruh barat dari S&T. Janganlah lagi kau mengingatku kembali, dengan jahatnya memang tidak pernah teringat. Aku ini memang sombongnya selangit. Terus saja berjalan pongah padahal berkali-kali terkena serangan panik, di Deborah, bahkan di kubikel sendiri di LKHT. Kini perutku membuncah, sementara beberapa penduduk Hanoi membunuh dirinya dengan memakan beras mentah sampai perut pecah setelah Jepang menyerah, gudang-gudang berasnya dibongkar Viet Minh.

Seberapa menjijikkan akan ditoleransi demi ketiak berambut lebat, sepertiku sekarang membiarkan cambang dan jenggot serabutan. Memandangi jendela terbuka padahal langit gelap malam adalah suatu nikmat yang harus disyukuri, apapun keadaannya. Ini semua jauh lebih baik ketimbang lorong kuning dingin berbau parfumnya Arum, tanda yang bersangkutan belum lama berlalu. Sampai tidak tahu, karena memang tidak pernah ada yang permisi atau memberitahu. Semua diam-diam saja sendiri, sepertiku berjalan menekuri rel derek bersimbah kotoran merpati.

Memang nyaman nirkabel ini, tidak perlu takut tertarik atau berdengung ketika diisi daya. Tidakkah kau ingat betapa repetitifnya membangun peradaban. Jika pun ada yang tidak repetitif, itu adalah dermaga perahu pesiar berbau pesing kencing pemabuk keparat. Maka menghentaklah musik mengiringi anak perempuan menari sambil menyanyi. Penari latarnyalah yang perempuan, penyanyinya kanak-kanak. Begitu sedap dentam-dentam hentaknya, mengiringi suara serak-serak basah, paruh-paruh baya pendengarnya. Terasa muda dalam hati meski perut kembung.

Dentam irama dari tahun 1990-an awalnya penuh harap akhirnya penuh nestapa. Sepuluh tahun yang mengerikan dilanjutkan dengan sepuluh tahun penuh kepasrahan sampai-sampai menjadi dosen. Sementara itu, pengantin merah menggantung dirinya sendiri. Tidur panjangnya yang gelisah penuh mimpi buruk diganggu Adit dan kawan-kawannya. Lantas mengapa pula ada hantu anak kecil yang meski sudah tidak kecil lagi selalu minta susu dalam dot bayi. Entah sudah berapa kali 'ku ganti karet gelang pengikat gulungan kelebihan tali ranselku, sudah tak terhitung lagi.

2 comments:

Anonymous said...

Di balik bayangan gelap yang tersembunyi,
Ada puisi yang berani mengungkapkan cerita.
Tema yang penuh tantangan, Gonorhea namanya,
Mari jelajahi, mari berkenalan dengan maknanya.

Gonorhea, penyakit yang tersembunyi dan berbahaya,
Menyusup diam-diam, tanpa terasa nyata.
Puisi ini bukanlah ajakan atau dorongan tak bermoral,
Tapi untuk menyadarkan akan bahaya yang sebenarnya.

Kisah dimulai dari kesenangan yang sesaat,
Di antara kehangatan asmara dan kelamnya hasrat.
Namun di balik itu tersembunyi racun yang mematikan,
Gonorhea, penyakit yang menyelinap tak terduga.

Seperti sebatang panah, menembus hati dan tubuh,
Gonorhea merajalela, tanpa mengenal kusuma.
Ia menyebabkan penderitaan, luka dan derita,
Menjauhkan kebahagiaan, merenggut harapan yang terpita.

Namun, di tengah kegelapan, masih ada harapan tersembunyi,
Pencegahan dan pengobatan, senjata untuk berjuang demi kesembuhan.
Mari saling peduli, menjaga kesehatan diri dan orang terkasih,
Mencegah penyebaran, memutus rantai Gonorhea yang mengancam.

Gonorhea, sebuah tema yang memang menantang,
Namun kita tak boleh melupakan rasa kemanusiaan.
Belajar dari kesalahan, sadar akan konsekuensi yang nyata,
Puisi ini menjadi pengingat akan kehati-hatian dan kesadaran kita.

Jadi mari berdiri bersama, menyuarakan kesadaran,
Mengatasi Gonorhea dengan pengetahuan dan tindakan.
Hormati tubuh, hormati pasangan, dan jaga kesetiaan,
Sehingga Gonorhea hanya menjadi bayangan dalam kenangan.

Gonorhea, sebuah puisi yang menantang batasan,
Mengingatkan kita akan pentingnya kesehatan.
Mari berjuang bersama, mencegah dan mengobati,
Hingga puisi ini menjadi kenangan gelap yang terkikis.

Lembaga Penelitian Hukum dan Masyarakat said...

Terdengar lebih seperti sifilis