Tuesday, January 01, 2019

Selamat Tahun Baru 2019. Insya Allah Selamat!


Ternyata tidak semua tahun punya entri yang mengucapinya selamat. Jika tahun ini salah satunya, aku tidak punya alasan apapun untuk membenarkannya. Hanya dorongan suasana hati saja, seperti biasa. Lain tidak. Akan halnya aku berusaha membuatnya koheren, ini juga semata melatih diri. Untuk sementara ini saja. Tidak berarti aku tidak akan kembali eksibisionis suatu hari nanti. Ini semata suasana hatiku pada saat ini, yang tidak benar-benar saat ini juga. Harus kuakui, aku sedang menggunakan teknik retroaksi.
Baru sampai sini saja sudah tidak tahan. Ya, ini bukan prosa koheren, meski aku memulainya berpretensi begitu. Ini kembali eksibisionis. Dua Ribu Sembilan Belas kumulai dengan seonggok lagi karya instalasi eksibisionis, yang tentu musykil karena aku sendiri yang menamainya begitu. Bedaku dengan Abang Senior Denny JA hanya ia menggembar-gemborkan puisi esainya dengan sangat serius, aku berolok-olok. Sudah begitu saja. Sejauh ini hanya Togar Tanjung yang menghargai eksibisionismeku. Mungkin ada juga lainnya, hanya aku belum tahu.

Hei, ini adalah ucapan selamat untuk 2019. Adakah ini ucapan selamatku untuknya, atau ucapan entah apa atau siapa padaku. Dalam Jagad Gondrong ini, kontradiksi dan paradoks tidak ada bedanya. Tidak terasa juga (Jawa: ora kerésé) jika Farid menertawakanku mengurusi Bourdieu yang kubaca 'burjo.' Yang jelas, 2019 Insya Allah—seperti tahun-tahun yang sudah-sudah—selamat! Ambisi aku tidak pernah punya. Tujuan hidup yang ekstrim khayali itu saja yang menyeretku menjalani hari-hari. Harapan menemui hari esok sedang senang.

Ini bisa jadi semacam perkenalan, seakan-akan 2019 adalah sesuatu yang sama-sekali baru. Tidak pernah kutemui sebelumnya. Aku sudah kehilangan minat untuk berfilsafat mengenai waktu, sedang itu sudah dilakukan dengan sangat cerlangnya oleh penggubah Bhagavadgita. Lagipula, kalaupun aku harus berfilsafat, kusimpan ia untuk waktu yang tepat, yakni waktu yang berguna. Waktu ketika aku memang harus, suka tidak suka, terpaksa berfilsafat. Aku, nyatanya, tidak lagi suka apa-apa, apalagi filsafat. Kesokcerdikan, kecerdasbarusan, nyatanya hanya buang-buang waktu dan tenaga.

Ketika kibbeling Volendam dan mie ayam Donoloyo tidak banyak berbeda, keduanya kontradiktif. Satu sama lain saling paradoksal. Maka kusapa saja 2019, seakan-akan ia menyapaku lebih dahulu. Seperti seorang teman yang tidak berjenis kelamin. Aku, tentu saja, tidak berani mengaku tidak berjenis kelamin. Aku, bagaimanapun, adalah mutasi; ketika kromosom X seharusnya sepasang dan masing-masing berkaki empat, salah satu kromosom X-ku hanya bercap kaki tiga. Aku tidak suci sebagaimana halnya Ibu Suci. Maka kusapa ia, Hei, 2019!

Kutinggalkan Ruang Flex Lantai 5 Gedung B itu, untuk sementara. Kutinggalkan penghuni-penghuninya, apa saja. Jepit kertas, kibor dan layar yang tidak berguna untukku, keseharianku. Untuk sementara. Jalan masih panjang. Aku masih ada semangat itu. Tidak untuk membuktikan atau meraih apa-apa. Sekadar apapun memang harus dikerjakan sebaik-baiknya, terlebih jika berurusan dengan orang lain. Hanya di Jagad ini aku berurusan dengan diriku sendiri. Sisanya akan selalu mengenai orang lain, bagaimana penerimaan mereka akanku, apakah berterima dan berkenan.

Aku bahkan tidak peduli apakah eksibisionisme dan koherensi bagaikan minyak dengan air. Air aku suka. Minyak, sadar atau tidak, kujejalkan juga ke dalam tubuhku; meski jika sadar aku lebih suka tidak. Minyak pada bala-bala diserap dengan tisu. Lebih baik tisu di samping wasbak pantri, jangan tisu wajah. Demikianlah segala sesuatu itu baik dan ada yang lebih baik lagi. Tahun baru, jadilah yang lebih baik itu dalam segala halnya. Di atas segala-galanya, semoga 2019 ini selamat!

No comments: