Monday, June 16, 2014

Pakde Boni yang Punya Gardu Belajar


Selamat pagi, Depok. Masih bersama saya di lantai dasar FHUI, sedangkan Frank merintih minta ganti pasangan dansa; setelah pagi-pagi umek sendiri gara-gara menurut Bu Myra SP Koperasi dimulai Senin, pagi hari ini juga. Setelah jelas bahwa mulainya sebenarnya Kamis, maka segera ngacir ke kantin mendapati keparat-keparat eks-JHP yang tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari mereka. Maka makanlah jadinya, berat. Nasi merah, terong balado, krecek, telor dadar, minumnya teh adem. Setelah boker dan umek sendiri ga penting, ngantuk. Katanya, itu berarti otak kekurangan oksigen karena darah begini dan begitu. Mengingat gaya hidupku yang sangat inaktif sudah beberapa tahun belakangan ini, tidak heran sih kalau darahku sampai begini begitu.

Nah, bagian ini kuteruskan setelah tidak lagi pagi; bahkan, tepatnya, setelah lepas lohor. Bukan lagi Frank pun yang merintih-rintih, melainkan Neil dengan musiknya yang riang-gembira, dan aku ngopi lagi! Ya, Allah jauhkanlah mudlarat kopi ini dariku dan sampaikanlah manfaat sebesar-besarnya. Amin. Eh, aku tadi shalat lohor di mesjid loh, meski tidak sengaja. Gara-garanya aku ngantuk tak tertahankan, sampai-sampai memutuskan untuk berkeliling lingkar dalam UI. Ketika melewati mantan kantor Satgas Sisfo itulah entah mengapa hatiku agak mantap mengikuti Dede Wawan dan Andi Wantemas melangkah menuju mesjid. Setelah shalat maka mantap juga hatiku menelepon Redy Zulkarnain di Berau! Sambil berkeliling-keliling Perpus, entah bagaimana hatiku agak mantap menelepon Mang Imas, yang, sayangnya, tidak bisa dihubungi. Alhamdulillah. Hidup ini indah!

Jiah, ini mah gardu beneran tea keur siskamling yeuh. (sumber)

Bicara mengenai keindahan, memang lucu; Apalagi dengan Indocafe Coffeemix dalam secangkir motif bola boleh beli di pasar lama Depok. Keindahan hidup adalah memandangi Istri yang Cantik, yang, meskipun nakalnya kadang sampai ke ubun-ubun, justru menambah kecantikannya. Apalagi kalau dia nakal sudah tidak ketolongan sampai-sampai menangis, sampai-sampai mecucu bibirnya; yang seperti itu tuh langsung mancing-mancing minta dipeluk-peluk dan dicium-cium. Ya, karena aku percaya bualan mengenai belahan jiwa. Belahan jiwa itu terlahir untuk belahan lainnya. Satu untuk satu. Aku tidak percaya jika jodoh ada yang "cuma sampai segitu." Kalau sampai bubar ya namanya tidak jodoh. Kalau sampai campur ya namanya kesalahan. Bodoh memang. Biar saja. Ini membuatku nyaman. Keindahan itu buatku ketika sepasang kakek nenek bergandengan tangan pulang dari mesjid habis tarawih. Subhanallah, itu indah!

Jika pun sampai kakek-nenek, to while the time away, maka berurusan dengan hukum. Ini idenya kudapat ketika membuat kopi tadi, karena dekat pengser ada rak berisi JHP. Ada lah orang bikin artikel, hubungan antara etika bisnis dengan kontrak perbankan, pengaruh kebijakan impor pangan pada kemiskinan petani, dimuat dalam sebuah jurnal hukum? Ketika itulah aku terpikir, menjadi yuris itu memang cocok denganku, karena yuris tidak pernah berurusan dengan yang tanggung-tanggung. Pilihannya hanya dua: (i) teknis sekali, melanggar hukum atau tidak, atau (ii) transenden sekali, berurusan dengan kecocokan atau kepatutan nilai-nilai. [Akankah aku punya kesempatan untuk melakukannya, Menulis panjang-panjang mengenai pekerjaan yuris yang cuma dua macam itu?] Lantas apa tengah-tengahnya? Kuantitatif! dan itu bukan urusan yuris. Mengenai itu serahkan pada ahli statistik. Yuris cuma punya dua pilihan, mengenakan binokular atau mikroskop di matanya.

Begitulah hidup yang kukhayalkan. Yah, mungkin ketika aku merenung-renung lalu mengetuk-ngetuk, Cantik akan pergi meninggalkanku entah untuk apa. Biarlah sepanjang ia pulang padaku, untuk kupeluk-peluk dan kugemes-gemesi. Toh, sekali dua aku masih mau dan menikmati jalan-jalan. Tapi ya itu, sekali dua saja jangan sampai lebih. Uah, sebuah gardu belajar pasti ideal sekali untuk keperluan itu. Jika Allah menghendaki, pasti kejadian itu gardu belajar. Sudah begitu saja yang kukhayalkan mengenai hidup ini. Jika cita-citaku untuk menjadi merbot mesjid yang menghuni ruangan kecil dekat mihrab tidak dapat tercapai, setidaknya gardu belajar itulah penggantinya yang sepadan. Jika tidak mungkin aku menjadi Paman Quentin yang punya Pulau Kirrin, maka cukuplah aku jadi Pakde Boni yang punya Gardu Belajar. Suatu hari nanti Adjie akan datang main ke rumah lalu bertanya, "Pakde Boni di mana?" Akan dijawab: "tuh di Gardu."

No comments: