Wednesday, June 11, 2014

Lugut Sigatel Itu Miang-miang Bambu


Judul seepik ini harusnya isinya keren, namun kini aku sedang tidak ingin keren. Siang tadi seingatku aku ingin mengabadikan cuaca yang luar binasa panasnya, dan betapa badanku rasa tidak enak. Namun malam ini, ketika aku benar-benar menghadapi Asus X450C-ku, tidak demikian lagi suasana hatiku. Apa karena Thais Meditation, atau gara-gara habis lihat Peter Schmeichel di BeIn 3, atau karena Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang? [Aku harus benar-benar masuk ke dalamnya, sebelum bisa asyik. Namun, segala sesuatu seakan mencegahku untuk melakukannya. Setan! ...dan yang paling nyebelin tentu saja koreksian, meski banyaknya tak seberapa; tidak seperti dulu-dulu yang pernah kulalui.] Nah, bicara koreksian... entah mengapa satu kenangan ini selalu mengemuka. Seingatku itu adalah final push, beberapa lembar terakhir. Jika tidak, tentu saja aku tidak akan merasa perlu merayakannya, sampai mengajak Dedy Nurhidayat segala, ke KFC Mal Depok segala. Tidaklah. Namun memang naik mobil dia yang hijau itu. Aku masih ingat, kursi samping supir itu kurebahkan, dan aku tidak melihat keramaian Margonda. Ya, hanya langit malam Depok yang kulihat, setelah meneguk Earl Grey, dan mencuil-cuil kue coklat yang dalamnya meleleh.

Lalu kami kembali ke Gang Pepaya. Berapa lama kami di situ? Satu setengah tahun. Banyak hal terjadi selama itu. Sejak di situlah aku belajar hidup seperti aku hidup sekarang. Lantai dasar yang remang-remang, dengan lampu kuning di depan kamar mandi. Remang-remang dan dingin, karena ACnya kurasa cukup kuat. Uah, memang cocok sekali untuk malam-malam sepanas ini. Ada pengser di bawah, meski di atas juga ada. Kopi biasanya di bawah situ juga. [mungkin karena, entah bagaimana, saat ini aku ingin ngopi. Padahal hampir tengah malam. Padahal tidak berapa sehat. Mungkin gara-gara Ave Maria ini...] Pernah juga jus mangga Country Choice pakai es. Hmm... segar. Seperti ini juga, menulisi Kemacangondrongan di atas meja direktur abangnya Sopuyan. Di depanku sofa yang sudah diubah bentuknya oleh Mang Yayan. Lalu bagian belakang dari lemari buku boleh bikin di Lenteng. Ya, sejuk. Bahkan dingin. Jika ke atas, maka yang pertama menyambut satu set sitje bambu boleh beli jaman di Jang Gobay. Di atasnya suka banyak apa-apa. Oh ya, cermin. Menoleh ke kanan, maka ada kulkas, wasbak yang ngecembong banyu, pantry dengan kompornya Dedy, rak piring... di baliknya, TV. Barulah di ujung kamarku. Meja tulis yang sudah tidak pernah dibuat menulis lagi semenjak pindah ke situ. Rak yang entah apa-apa isinya, dan... kasur palembang kesayangan. Oh, they are very dear to me, their memories...



Tak disangka aku jadi berpanjang lebar mengenai Gang Pepaya. Belum lagi gangnya itu sendiri. [Aah... aku harus buat kopi!] Mulut Gang Pepaya diapit oleh syowrum-syowruman. Memasuki gang, segera terlihat warnet. Sebelum warnet, jika melirik ke kiri, maka warung dalam gambar itulah yang tampak. Aku sekali dua membeli kopi di situ, atau di warung satunya dekat pintu masuk tapsiun. Nah, di samping warnet ada bimbel-bimbelan yang prestation. Pas di belokan ke kiri ada pangkas rambut gaul, lalu emperan tempat jual buah, lalu warung sate gajah yang lebih laku ayam nyepetnya. Di seberangnya tempat entah apa, pernah ada orang jual jus di situ, lalu tempat nasi goreng. Sebelah ayam nyepet itulah ruko-rukoan yang dalemannya sudah kuceritakan di atas. Lalu warnet, pernah jual mie ayam yang edible, di seberangnya londri-londrian punya kawan lama, [buset, sekarang aku lupa kawan di mana siapa namanya] orang jualan pulsa dan alat pemadam kebakaran, kos-kosan cewek banyak yang depannya sering buat mangkal tukang nasi goreng gerobak, seberangnya kadang ada tukang otak-otak sapu-sapu, warung yang kuceritakan tadi, mesjid, dan pintulah tempat babe temennya Agam jualan herbal, lalu peron. Masih banyak lagi. Warung nasi yang bakwan jagungnya oke, fotokopian di depan jualan gas, warung jual minuman, warung alat tulis... Mati semua! Semua! Mati!

No comments: