Sunday, December 21, 2014

Penyakit Perut Tahunan yang Seperti Tifus


Sebelum memulai dengan apapun, ada baiknya kucatat di sini. Jangan-jangan dapat menjadi semacam konfirmasi bagi penelitian medis, seperti halnya catatan-catatan mengenai wabah kematian hitam atau tsunami. [Menulis seperti ini jangan dibiasakan, nanti sulit mengerjakan TPA, meskipun jangan sampai juga TPA dibiasakan] Jadi, yang ingin kucatat adalah, setidaknya sudah tiga tahun terakhir ini aku merasa begini. Selalu di akhir tahun. Selalu di awal musim hujan. Perutku kembung cenderung bengkak dan sakit. Mereda di siang hari, menjadi di malam hari.

Ken Arok pada 1983
Berikutnya, apakah akan kuulangi lagi kegilaan dari tahun lalu? Saat ini, pagi ini, aku tidak punya banyak pilihan kecuali mencoba mengulanginya. Pagi ini aku menulis di kamar tengah Yado II E4, dengan jendela yang sudah diteralis rapat sehingga kucing menjadi terlalu besar untuk menerobosnya. [Bisakah kau bayangkan tulisan seperti ini dibaca oleh Bapaknya Togar?] Di kamar ini jugalah aku pernah menahan Keley pada ekornya, dan ia berbalik kesakitan seperti ingin menyerang. Itu membuatku sedikit takut.

Biar kucatat juga di sini, nanti siang aku akan berangkat ke Cengkareng untuk menjemput anak gadisku, yang besar tanpa aku pernah tahu bagaimana besarnya. Pun demikian, hanya ia dan Adjie-lah cucu-cucu Bapak dan Ibu sampai hari ini. Selebihnya, aku hanya ingat Sonik terbaring di depan tivi, tidak di tikar rotan--seingatku. Selebihnya, aku tidak suka mengingat-ingatnya. Baru begitu saja aku tidak suka mengingat-ingat. Apalagi jika sampai melihat mayat temanku dimutilasi tanpa perikemanusiaan, seperti yang dialami Doc Bradley.

Aku tidak tahu, lupa tepatnya, apakah Bapak sudah pernah maos Arok Dedes, tapi pagi ini Bapak menyamakan keadaanku kini terkait Pak Sayidiman dan Pak Try dengan Ken Arok dan Dang Hyang Lohgawe. Padahal... aku cuma mau... mau apa? Aku tidak punya mau. Namun, apa kuat aku menahan sakitnya inkuisisi? Akankah aku mengakui kesalahanku sebagaimana mereka inginkan, hanya untuk membantahnya kembali setelah sakitnya pergi? Siapkah aku dengan kematian tragis? Benny Amalia menyamakanku dengan Robert Wolter Monginsidi, jelas itu lebay.

Kin punya nasib dan jalan hidupnya sendiri, apalagi Khaira dan Faw yang jelas-jelas Azurat. Aku... ketinggian. Hahaha... ketinggian. Kalian... ya, mungkin memang hanya sebatas kalianlah yang dibutuhkan. Dunia ini tidak butuh kelebayan. Tidak butuh vagary. [mengapa pula kata itu yang tertanam dalam benak?] Itulah sebabnya ada Takwa, sebagaimana dulu ada Rendy, dan Sopuyan. Aku bukan siapa-siapa di sisi mereka. Apalagi Sopuyan yang tidak pernah secara terang-terangan memujiku. [mungkin karena celaan saja yang keluar dari mulutku mengenai dirinya]

Aku cuma ingin Bulan Biru, dan aku tahu persis tak akan mendapatkannya. [Benarkah?] Shubuh ini aku membaca-baca sedikit mengenai ummul mukminin, istri-istri Rasulullah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Rasulullah Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya, pada pengikut dan pengikut-pengikutnya sampai akhir jaman. Jika sudah begini, apa pentingnya dunia, selain menunggu waktu Dhuhur yang Insya Allah sekitar dua jam lagi; sedangkan, sehabis minum kopi, lambung perih begini? Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusanNya!

Semua ketidaksempurnaan ini sekadar pengingat bahwa ini dunia. M. Adam Ali Bhuto pernah mengatakan bahwa manusia pada dasarnya mahluk surga, buktinya suka yang enak-enak dan ingin agar yang enak-enak itu kekal pula. Nah, dunia ini terkadang memberi kita yang enak-enak, dan terkadang yang enak-enak ini juga agak lama berlangsungnya. Padahal semua itu palsu! Segala kelapangan hanya sekadar agar tidak terlalu penat hidup terbuang di dunia, sedangkan kesempitan justru adalah panggilan sejati, khususan bagi yang bebal!

No comments: