Saturday, December 20, 2014

Girolamo Savonarola dalam Kenangan. Aku


Cuaca siang ini mungkin merupakan gambaran tepat dari suasana hatiku. Pergelangan tangan kiriku, entah mengapa, sejak siang kemarin terasa sakit seperti terkilir. Kurang nyaman jadinya disandarkan pada laptop. Badanku secara keseluruhan juga kurang nyaman. Apa benar yang kurasakan? Mendung dengan gerimis setitik-setitik. Begitulah perasaanku. Begitu juga cuaca siang ini. Sedangkan La Boheme kini mengiringi ketukan-ketukan tertahan pada papan-kunci, setelah Io Che Non Vivo. Agak sesuai memang dengan judul entri ini. Dari semua nama dalam Il Principe, entah bagaimana, itulah yang paling kuingat.

Seandainya paket Smartfrenku masih kuasa mengunggahnya, maka akan kuabadikan nama itu di sini, siang ini juga. Seperti biasanya, ketika pertama kali membaca aku tidak benar-benar memahami. Akan tetapi ia terpatri lekat di benak, seperti ngecop terpatri dalam kebiasaan Sisun M. Suprapto. Sebagaimana halnya The Name of the Rose, begitu juga Savonarola. Sama pun latarnya. Aku pun, seperti pendeta, terlahir tidak menyukai daging. Hanya saja, hidup mengajarkanku menyukai olahan daging seperti sosis dan burger. Selebihnya, mana pernah.

Jika paket Smartfrenku sudah tidak mampu, maka Insya Allah akan kuunggah entri ini di Jalan Radio. Begitulah seharusnya disebut. Terkadang aku heran, mengapa aku bisa tidak punya semangat hidup seperti ini. Apakah karena aku tidak punya badjet tiga ratus lima puluh juta Rupiah untuk dibelikan mobil apapun? Percuma segala analisis kepribadian—dan tes psikologi atau tes apapun? Aku tidak peduli. Agak sih, sebetulnya aku takut juga hasil TPA-ku kemarin jelek sehingga UI punya alasan untuk menendangku.

Akan tetapi, takut juga tidak terlalu, karena aku lupa bagaimana caranya takut. Naudzubillahi min dzalik. Semoga nasib sedemikian tidak menimpaku dan keluargaku. Keluarga? Bagaimanapun, menarik juga cara berpikir Fawaz. Ia, katanya sendiri, sudah tahu bagaimana caranya punya anak dua, yaitu menikah dua kali. Kucukupkan sampai di sini saja, daripada Cantik muring-muring, seperti biasa, karena alasan-alasan yang sulit diterima akal. Jelasnya, siang ini aku sangat kesepian meski punya keluarga. Il Silenzio seakan menegurku, akan ketidakmampuanku menahan sunyi.

Hei, sebelum lupa baiknya kuabadikan di sini. Setelah sekian lama tidak dicepat, akhirnya pada Senin, 15 Desember 2014, bertepatan dengan ulang tahun Bapak yang ke-64, aku dicepat oleh Om Topas. Efektif mulai Januari 2015 aku bukan lagi Ketua ICT dan Komunikasi Internal. Bagaimana caranya agar hidupku agak lebih ceria sedikit? Apakah memang takdirku menjalani hidup yang murung seperti ini? Adakah akhirat? Adakah balasan? Oh Gusti, tidak ada yang lebih kuinginkan daripada mengetahui betapa dosa-dosaku diampuni dan dihapuskan.

Itu saja. Keyakinanku pada Gustiku. Aku memang bukan hamba yang baik. Tidak ada pula pembelaanku atasnya. Gustiku, hanya kepadaMulah hamba berserah. Kalau tidak, kepada siapa lagi? Beginilah perihal hamba. Hamba tidak punya tiga ratus lima puluh juta Rupiah atau SK BHMN yang tidak ilegal atau apapun untuk bergantung. Hamba hanya punya keyakinan ini padaMu. Bakti hamba padaMu lusuh compang-camping begini, Oh Gusti. Hanya belas kasihanMu saja yang hamba damba-damba. Kalau bukan itu, lalu apa lagi?

[Biarlah kutambahkan satu alinea lagi] Jadi, untuk sedikit menceriakan hari, sebelum ini aku pergi ke Giant BBM. Sampai di sana membeli Teh Poci, memesan Nasi Fu Yung Hai di Mie Menteng dan seporsi Hisit Kao. Bagaimana? Tambah Ceria? Tentu saja tidak. Hanya kenyang. Lalu berjalan-jalanlah aku di antara lorong-lorong Giant. Apa yang kubeli? Tidak ada. Jangankan sampai membeli, satupun tidak ada yang menarik perhatianku. Sama-sekali tidak ada. Maka kukancingkanlah poncoku, menyongklang Pario, pulang dan menulis ini.

...paket smartfrenku ternyata masih mampu...

No comments: